Kopiah.Co – Berbicara mengenai gerakan reformasi di Tunisia, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh gerakan “’Urwah al-Wutsqa” yang digagas oleh Jamaluddin Al-Afghani dan muridnya Muhammad Abduh pada akhir abad ke-19. Gerakan ini bertujuan untuk pembaharuan pemikiran Islam dan masyarakat, yang pada saat itu banyak umat Islam di berbagai belahan dunia sedang berada dalam kepungan imperialisme Barat.
Berangkat dari kekhawatiran, Al-Afghani dan Abduh menuangkan gagasan dan pemikiran reformasinya melalui majalah yang mereka sebut dengan majalah “‘Urwah al-Wutsqa“, yang diterbitkan di Paris, Perancis sebagai jihad intelektualnya dalam melawan penjajahan barat dan keinginannya untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. Tentu yang dilakukan oleh Al-Afghani dan Abduh tersebut relevan dengan kebutuhan masa itu, yang mana umat Islam sedang berada dalam kemunduran berpikir dan menjauh dari ilmu pengetahuan Islam.
Melalui majalah “‘Urwah al-Wutsqa“, pemikiran Al-Afghani dan Abduh pun menghiasi dan menjadi perhatian masyarakat dunia, termasuk Tunisia. Dengan gagasannya, Al-Afghani dan Abduh ingin memberikan pemahaman kepada umat Islam agar dapat memahami ruh ajaran Islam yang sejatinya dapat menjadi inspirasi dalam membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Al-Afghani dan Abduh juga mengajak umat Islam di seluruh dunia untuk bersatu, bersama-sama menghidupkan spirit nasionalisme di masing-masing negaranya dalam berjuang melawan penjajahan. Semangat yang mereka kobarkan inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Muhammad Khudar Hussein, seorang cendekiawan muslim kontemporer dari Tunisia, yang pada saat itu negaranya juga sedang berada di bawah penjajahan Perancis.
Di Tunisia, nama Khudar Hussein memang tidak sebesar Muhammad Thahir Ibnu Asyur, ulama ensiklopedis dan juga pemikir kontemporer kebanggaan Tunisia. Walaupun demikian, peran Khudar Hussein dalam reformasi pemikiran keagamaan dan masyarakat Tunisia berada dalam garis yang sama dengan Ibnu Asyur. Keduanya pun sama-sama pejuang kemerdekaan Tunisia pada abad ke-19 sampai permulaan abad ke-20. Khudar Hussein dan Ibnu Asyur berupaya menjaga identitas nasional masyarakat Tunisia serta menebar sanad keilmuan ala Zaitunah ke berbagai daerah di Tunisia.
Khudar Hussein muda tumbuh dalam lingkungan yang cinta ilmu pengetahuan. Ia belajar di lembaga pendidikan Zaitunah yang memiliki pemikiran keislaman yang moderat. Toleransi, kesetaraan, tolong-menolong, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan lainnya merupakan sikap yang dihidupkan oleh seorang Zaytuni, atau orang yang belajar di Zaitunah. Walaupun hidup di masa penjajahan, semangat Khudar Hussein dalam belajar tak pernah lenyap. Ia juga tumbuh sebagai seorang pemikir yang peduli terhadap pembangunan masyarakat.
Situasi Tunisia pada masa Khudar Hussein memberikan motivasi baginya untuk berpikir yang reformatif. Apa yang dilihat Khudar Hussein di Tunisia memberi kesan kepadanya bahwa umat Islam Tunisia pada masanya sedang berada dalam kemunduran. Menurut Khudar, kemunduran umat Islam disebabkan oleh tidak adanya perhatian umat Islam kepada ilmu pengetahuan dan kesalahpemahaman mereka terhadap ajaran Islam.
Bagi Khudar, tujuan Islam hadir di muka bumi ini adalah untuk menjaga harkat dan martabat umat manusia. Maka seyogianya setiap umat beragama dapat mewujudkan kedamaian dan keamanan bagi sesamanya. Dalam satu karyanya, Rasail al-Ishlah, ia menyampaikan bahwa, “Kesejahteraan sebuah bangsa adalah ketika mereka diberi rasa aman dan dipenuhi hak-haknya”. Dengan demikian, menurut Khudar, tidak ada kesejahteraan tanpa adanya kebebasan, kehormatan, dan semangat dalam menjaga jiwa.
Sebagai seorang ulama, Khudar Hussein juga tak pernah absen dalam menjunjung tinggi kemanusiaan, menjaga harkat dan martabat bangsa serta kedaulatan negerinya. Karena baginya, cinta tanah air merupakan bagian dari ajaran Islam yang harus tumbuh dalam diri umat manusia. Menurutnya juga, keberanian merupakan modal yang harus dimiliki oleh umat Islam dalam melawan ketidakadilan dan mewujudkan perdamaian.
Sebagaimana Ibnu Asyur yang berpendapat bahwa pintu ijtihad selalu terbuka, begitu juga dengan Khudar. Dalam satu karya fenomenalnya, Rasail al-Ishlah, Khudar mendorong ijtihad dalam rangka membangun peradaban kemanusiaan. Menurutnya, Ijtihad merupakan upaya dalam merespon perkembangan zaman. Dengan begitu, ajaran Islam yang senantiasa relevan dalam ruang dan waktu dapat benar-benar terwujud. Maka, agama betul-betul dapat hadir sebagai inspirasi dan solusi atas permasalahan-permasalahan yang lahir di tengah masyarakat.
Ia juga berpendapat bahwa ajaran Islam itu universal. Ajarannya mampu membawa kemaslahatan bagi setiap generasi yang hidup di muka bumi. Istimewanya, buah dari keuniversalan ajaran Islam juga menjadikan bahwa ajaran Islam bukan hanya milik satu suku atau kelompok tertentu, melainkan milik semua umat Islam di berbagai belahan dunia. Sehingga, ajaran Islam ini dapat memberikan solusi terhadap masalah-masalah baru yang muncul di berbagai daerah yang berbeda.
Dalam mewadahi gagasan-gagasannya tersebut, Khudar Hussein melahirkan banyak karya. Di antara karya-karyanya adalah kitab Balagah al-Qur’an, Asrar al-Tanzil, Rasail al-Ishlah, al-Syariah al-Islamiyyah likulli zaman wa makan, Dirasat fi al-Syariah al-Islamiyyah, Tunis wa Jami’ al-Zaitunah, Dirasat fi al-Lugah, Nadzharat fi al-Islam wa Ushul al-Hukm, Muhammad Rasulullah wa Khatama al-Nabiyyin, al-Da’wah ila al-Ishlah, al-Hurriyah fi al-Islam, dan lain-lain. Ia juga menerbitkan majalah “al-Sa’adah al-‘Udzhma” atau “Kebahagiaan yang besar”, majalah pertama yang diterbitkan di Tunisia pada tahun 1904 M.
Pergerakannya dalam menulis merupakan langkah Khudar dalam merawat peradaban. Karena dengan menulis, keilmuan dan pemikirannya abadi serta dapat bermanfaat bagi semua orang. Hal itu pun tak lepas dari inspirasi yang diberikan Al-Afghani dan Abduh yang juga menebar ide serta pemikirannya melalui tulisan. Maka, menulis merupakan jihad intelektual yang dihidupkan oleh Khudar Hussein semasa hidupnya.
Produktivias yang dibangun oleh Khudar Hussein juga tidak bisa dilepaskan dari perhatiannya terhadap pendidikan. Bagi Khudar, pendidikan merupakan kunci unggulnya suatu bangsa. Sehingga, ia pun mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan. Selama tinggal di Tunisia, Ia mengajar di Zaitunah, al-Sadiqiyah, dan lembaga Khalduniyyah. Lalu ketika Khudar merantau ke Suriah, ia pun tetap menjadi seorang pengajar. Ia mengajar sastra arab dan filsafat di Madrasah al-Sultaniyyah, Damaskus.
Khudar Hussein tetaplah Khudar Hussein, yang senantiasa menebar manfaat dan berperan aktif dalam membangun masyarakat. Ketika ia pindah ke Kairo, Mesir, ia pun tetap memancarkan sinar intelektualnya. Khudar Hussein menjadi pimpinan redaksi majalah “Nur al-Islam” yang diterbitkan oleh Al-Azhar, dan majalah “Liwa al-Islam“, serta aktif di berbagai organisasi serta lembaga pendidikan. Sampai akhirnya pada tahun 1952, Khudar Hussein pun diangkat sebagai Imam Besar, Grand Syekh al-Azhar yang ke-41.
Dari Khudar Hussein kita belajar bahwa keilmuan dan pengetahuan keagamaan kita seyogianya melahirkan kepedulian terhadap pembangunan masyarakat. Khudar Hussein telah mengabdikan jiwa dan raganya untuk kepentingan semua orang. Setiap langkahnya ia hidupkan untuk membawa kemaslahatan. Khudar Hussein juga selalu mengambil peran dalam menjunjung tinggi kemanusiaan. Di samping itu, ia pun seorang yang produktif dalam berkarya.
Jejak intelektual Muhammad Khudar Hussein ini sesungguhnya menjadi inspirasi. Pemikiran keagamaan dan spirit nasionalisme yang dihadirkannnya menjadi garis yang juga harus kita tempuh. Sebagaimana di Indonesia kita mengenal KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan, maka Muhammad Khudar Hussein dari Tunisia dapat menjadi idola baru yang kita ikuti perjuangannya.