Muhammad Abduh Bukan Salafi II

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Ada cerita menarik yang sempat dicatat oleh Syekh Hasan Syafii. Suatu ketika Rasyid Ridla bertanya kepada Muhammad Abduh, bagaimana pandangannya tentang wahabiah. Muhammad Abduh menjawab:

” Wahabiah memang berniat untuk mereformasi agama. Sebenarnya mazhab mereka bagus jikalau tidak ghuluw alias berlebihan dan melewati batas. Buat apa mereka sampai ingin merobohkan makam Nabi Saw? Begitu juga sampai mengkafirkan kaum muslimin dan hendak menundukkan mereka dengan pedang?” ( Lihat Dr. Hasan Syafii, Qaul fi Tajdid, hal. 83)

Di sini terlihat jelas bagaimana pandangan Muhammad Abduh terhadap wahabiah ternilai negatif. Tapi satu hal yang menyisakan pertanyaan, mengapa sempat muncul kecurigaan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang salafiah. Berkaitan hal ini, Syekh Ali Jum’ah memberi penjelasan dalam bukunya al Mutasyaddidun, sebuah buku kecil yang secara gamblang membantah kerancuan nalar kaum salafi wahabi.

Hal ini bermula dari kondisi Mesir yang terpuruk saat dijajah oleh Inggris. Waktu itu terdapat banyak khurafat yang menjangkit tubuh umat, serta ditambah penisbatan diri kepada aliran-aliram sufi yang tidak benar. Di hadapan realitas ssmacam ini, umat terbagi menjadi dua kelompok Pertama, mereka yang condong kepada peradaban Barat dan ingin menirunya dari berbagai sisi kehidupan, bahkan semakin luntur prinsip untuk berpegang teguh pada ajaran Islam. Kedua, mereka yang ingin menyuarakan reformasi dan menjadikan prinsip-prinsip kaum salafus salih sebagai syiar gerakan reformasi tersebut. Muhammad Abduh dan Jamaludin Afghani berada di pihak yang kedua ini.

Rupanya, dalam waktu yang sama, di Najd, terdapat gerakan reformasi yang sama yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian dikenal dengan gerakan wahabisme. Seiring berjalan waktu, gerakan ini bertransformasi menjadi gerakan salafiah yang mengaku berpegang teguh pada ajaran kaum salaf. Di antara tokoh sentral yang sering dikaitkan adalah Ibnu Taimiyah.

Setelah mengetahui bahwa Muhammad Abduh bukanlah bagian salafi-wahabi, perbedaan antara keduanya terlihat semakin jelas, ketika wahabi yang menjadikan salafiah sebagai identitas politik, sedangkan salafiah yang dimaksud oleh Muhammad Abduh adalah salafiah sebagai syiar atau manhaj.

Syekh Ali Jumah membedakan antara salafiah yang hakiki dan salafiah yang harfiah, yang cenderung pada identitas penganut paham-paham furuiyah semata. Bagi Syekh ali, hal ini jelas berbeda dengan kaum salafus salih sendiri yang justru tidak terpusat pada masalah-masalah furu’, karena justru perbedaan seputar furu’iyah adalah keniscayaan dalam diri mereka waktu itu.

Salafiah yang hakiki menurut Syekh Ali Jumah ialah mereka yang mengikuti manhaj kaum salafus salih dalam kaidah-kaidah tafsir, kaidah ijtihad, dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan hukum yang dipakai oleh kaum muslimin sepanjang sejarah. Maka, salafiah sebagai manhaj seperti ini lah yang disebut sebagai Ahlussunnah wal Jamaah. ( Lihat Prof. Dr. Ali Jumah, Al Mutasyaddidun, hal. 6-8)

Lalu dari segi metode pemikiran, kita bisa melihat perbandingan antara kecenderungan Muhammad Abduh dengan Salafiah yang sering dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahab dan Ibnu Taimiyah. Sekurang-kurangnya ada tiga prinsip yang mencolok terlihat dalam kaum salafiah, yakni soal tauhid, soal ayat mutasyabihat, dan soal takfirisme. Gambarannya demikian:

1. Secara akidah, Ibnu Taimiyah merumuskan sebuah konsepsi tauhid yang sama sekali baru dan kontroversial. Ia nerumuskan klasifikasi tauhid menjadi tiga macam: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma wa sifat. Dampak nyata daripada pembagian tauhid seperti ini, adalah perbedaan status penghambaan diri kepada Allah swt sebagai Rab dan sebagai ilah, kemudian diperparah dengan pemahaman mereka, bahwa status kaum kafir yang diperangi oleh Nabi Saw itu bukan karena mereka bertauhid rububiyah, melainkan sebab mereka enggan bertauhid uluhiyah. Di sinilah kekacauan pemikiran Ibnu Taimiyah yang kemudian didukung oleh kaum wahabiah. Klasifikasi tauhid semacam ini tidak bisa dibenarkan karena dalam al quran sendiri terdapat banyak ayat yang menyeru beriman kepada Allah Swt sebagai Rab dan Ilah secara bersamaan. Salah satunya tergambar jelas dalam Surat An-Nas. Di sana jelas kita diajarkan untuk berlindung kepada Allah Swt sebagai Rabbinnas, Malikinnas, dan Ilahinnas. Allah Swt sebagai rab, malik dan ilah itu adalah satu kesatuan dari manifestasi ketuhanan. Dampak lain dari pembagian ini adalah munculnya kesan kesan persamaan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin dalam status tauhid rububiyah. ( Lihat Dr. Salim Abu Asi, Ibnu Taimiyah wa Naqadat fi al akidah, hal. 67-73)

Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh membangun konsepsi akidah dalam kitabnya Risalah Tauhid persis dengan konsepsi akidah asyairah, yakni membagi tauhid menjadi tiga macam: tauhid dalam dzat, tauhid dalam sifat, dan tauhid dalam pekerjaan-pekerjaannya ( af’al).

Dalam tulisan lain, ia mengatakan:

” Agama Islam datang dengan membawa ajaran bertauhid kepada Allah Swt, baik dalam dzat dan tindakan-tindakannya, serta mensucikannya dari hal-hal yang menyerupai karakter makhluk. Maka jelaslah argumentasi-argumentasi bahwa dari wujud alam semesta ini terpahami keberadaan Sang Pencipta yang Maha Esa, yang dari keagungann ciptaannya, membuktikan bahwa Dia adalah Dzat yang memiliki sifat-sifat yang mulia, seperti sifat ilmu, sifat qudrat, iradat dan seterusnya. ” ( Lihat A’mal Kamilah Muhammad Abduh, Jilid 3, hal 451-452)

Pernyataan di atas cukup membuktikan bahwa secara akidah, Muhammad Abduh cenderung pada Asyairah, begitu juga dalam pembahasan perbuatan manusia apakah murni ihtiyar ataukah jabariah yang sering diulang-ulang dalam tulisannya. Dan ada satu hal yang jarang diketahui orang bahwa sekalipun Muhammad Abduh dikenal sebagai seorang reformis nan modernis, dia juga mempunyai dua karangan bergenre klasik (turats), yaitu  Kitab Hasiyah atas Syarah Jalaluddin ad-Dawani ala Akidah Adudiyah dan Risalah al Waridat. Dari dua kitab ini bisa disimpulkan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang alim allamah yang tidak diragukan lagi keilmuannya, yang mana berkat dua kitab tersebut, Grand Syekh Ahmad Tayyib tidak segan-segan menjulukinya sebagai Hakim al Syarq, Seorang Filsuf dari Timur.

2. Prinsip kedua yang membuat Ibnu Taimiyah semakin berbeda dengan Asyairah dan Maturidiyah adalah prinsipnya dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, ayat-ayat yang berbicara seputar sifat-sifat Allah Swt ( al Sifaat al Khobariyat) mustinya diterima maknanya secara apa adanya. Pendapat ini bermula dari persoalan, bagaimana menyikapi konsepsi tafwidl kaum salaf. Imam Malik dan Rabiah ketika ditanya perihal ayat istiwa, mereka menjawab bahwa ” al istiwa ghairu majhulin, wa al kaifu ghairu ma’qulin”, yang berarti, makna istiwa itu dikehatuhi, dan soal bagaimananya itu tidak diketahui, yang mana senada dengan statemen kaum salaf yang lain, ” amirruha ala ma qad jaa’at bi la kaif”, yang berarti: biarkan saja ayat-ayat itu sebagaimana saat diturunkan, tanpa (menyoal) bagaimana jelasnya.”

Ibnu Taimiyah menyimpulkan dari ungkapan kaum salaf yang memilih tafwidl itu sebagai tajhil, yakni bukannya mereka tidak mempercayai kandungan makna yang dihasilkan dari kata/teks sama sekali, mereka sebenarnya meyakini kalau kandungan maknanya itu sesuai dengan potensi kata namun tidak mengerti bagaimana persisnya. Artinya, sifat-sifat yang dinisbatkan kepada Allah Swt itu benar adanya sebagaimana ayat-ayat itu terpahami.

Dalam bukunya Aqidah Hamawiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan:

” Adapun ucapan mereka, ” biarkan ayat itu sebagaimana adanya”, bermaksud agar dibiarkan sesuai kandungan makna-lafadnya, karena sesungguhnya ayat-ayat tersebut berisi lafadz-lafadz yang mengandung maknanya (sendiri). “

Penafsiran tafwid semacam ini berdampak pada penisbatan makna jisim kepada Allah Swt, karena kata-kata yang bernuansa jisim dalam al quran diterima dan di-itsbat-kan begitu saja, melalui makna dzahir atau hakikatnya, tanpa ada takwil sama sekali.

Di sinilah konsekuensi paling fatal yang ditimbulkan dari konsepsi itsbat yang diusung oleh Ibnu Taimiyah. Sehingga, tanpa ragu mereka mengatakan bahwa Allah Swt memiliki sifat-sifat jisim, Allah sakit tapi tidak seperti sakitnya kita (makhluk), Allah lupa tapi tidak seperti lupanya kita, Allah berada di tempat, Allah tidak di dalam atau pun di luar alam semesta, begitu juga sifat duduk, sifat turun, sifat mendekat dan lainnya.

Banyak ulama yang menulis tema-tema ini. Diantaranya, buku yang ditulis oleh Syekh Abdul Fadeel al Qusi, berjudul Mauqif al Salaf min al Mutasyabihat baina al Mutsbitin wa al Muawwilin.

Dalam bukunya tersebut, Syekh Abdul Fadeel mengatakan:

” Sesungguhnya alasan kenapa ulama salaf tidak memberikan tafsir bukan karena mereka tidak mengetahui kandungan-kandungan teks, juga tak bermaksud menafikan makna-makna yang tersimpan di balik teks yang pantas dinisbatkan kepada Allah Swt, melainkan untuk mengangungkan kuasa, kebesaran dan sifat ketuhanan Allah Swt, dan mensucikannya dengan cara tidak memberi tafsir sesuai konsepsi bahasa manusia atau sesuai pemahaman akal yang diliputi kekurang dan keterbatasan, sekalipun kita mengucapkan ” bi la kaif” sejuta kali!”  ( Lihat Dr. Abdul Fadeel Qusi, Mauqif, hal 25-30)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait