Kemajemukan Masyarakat Madinah dalam Bingkai Persatuan

Artikel Populer

Muhammad Wifqi Zidan Hailala
Muhammad Wifqi Zidan Hailala
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Meisir | Wakil Ketua Bidang Seni & Budaya PC GP Ansor Mesir

Kopiah.coSejarah mencatat dengan tinta emas, bahwa Baginda Nabi Saw sukses menyatukan seluruh bangsa Arab. Kesuksesan tersebut tidak terwujud semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi melewati proses panjang dan perjuangan yang menghabiskan segenap jiwa dan raga. Mulai dari pengorbanan harta sampai pengorbanan darah dan nyawa. Hingga pada akhirnya, bangsa Arab jahiliyah yang identik dengan laku diskriminasi dan rentan tersulut agitasi, perlahan dapat disatukan.

Memang benar, Bangsa Arab merupakan suatu bangsa yang besar dan memiliki bahasa yang sama yaitu Bahasa Arab. Namun, kebesaran dan kesamaan yang ada tidak serta merta melahirkan persatuan dan perdamaian. Tersebab pada kenyataannya, Bangsa Arab merupakan bangsa yang cukup kompleks. Di antara penyebabnya adalah fenomena kelas masyarakat dalam kehidupan sosial Bangsa Arab.

Setiap kabilah atau suku saling membanggakan marganya masing-masing. Entah budaya ini masih tetap eksis sampai sekarang atau tidak, yang jelas budaya seperti ini telah bercokol sejak zaman jahiliyah.

Di zaman Baginda Nabi Saw pun juga diceritakan bahwa Nabi dari suku Quraish yang bermarga Hasyim. Ketika itu, marga Hasyim adalah marga paling unggul dan kuat di Mekkah. Banyak sekali cerita tentang persaingan bahkan peperangan antar marga pada waktu itu. Tantangan seperti itu juga dihadapi oleh Baginda Nabi Saw setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah, bahkan bisa dibilang lebih kompleks dari sebelumnya. Karena hadirnya entitas baru (baca: Muhajirin) di Madinah yang terdiri dari beberapa marga.

Setelah hijrahnya Baginda Nabi Saw dari Mekkah ke Madinah, Nabi melakukan sensus penduduk Madinah untuk memahami kondisi dan situasi sosial di Madinah.Walhasil, penduduk Madinah didominasi oleh orang-orang Yahudi dan kaum Paganisme. Kaum Muslim hanyalah kelompok minoritas.

Syahdan, Baginda Nabi Saw mempertemukan seluruh entitas masyarakat Madinah yaitu; Muslim, Yahudi, dan Kaum Pagan. Kaum Muslim terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar; Kaum Muhajirin terdiri dari Bani Hasyim, Bani Tamim, Bani Ady dan lain-lain, sementara kaum Anshar terdiri dari dua marga besar yakni Bani Aus dan Bani Khazraj. Kemudian, kaum Yahudi terdiri dari Bani Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Berdasarkan kondisi ini, maka masyarakat Madinah pada saat itu adalah komunitas yang pluralistik, sebab itulah kemudian Baginda Nabi Saw mempertemukan semua komponen masyarakat Madinah.

Baginda Nabi Saw berkeinginan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Maka langkah pertama yang dilakukan oleh Baginda Nabi Saw, adalah mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar. Pertemuan antara dua kelompok itu diadakan di rumah Anas bin Malik. Setelah mempersaudarakan Kaum Muslim, barulah Baginda Nabi Saw menyatukan seluruh kelompok Yahudi dengan perjajanjian aliansi dan kebebasan beragama. Setelah sedikit banyak entitas di Madinah berhasil disatukan, Baginda Nabi Saw mengadakan perjanjian sosial politik Madinah, yang kemudian disebut Mitsaq al-Madinah.

Mitsaq al-Madinah atau Sahifah Madinah, yang kemudian juga dikenal dengan nama Piagam Madinah menjadi dasar hukum bagi kehidupan bermasyarakat di Madinah. Konstitusi Madinah. Piagam Madinah disusun bukan hanya dari pemikiran Baginda Nabi Saw saja, akan tetapi meliputi gagasan-gagasan dari semua tokoh dalam masyarakat Madinah.

Dari sini, sudah tergambar  tentang bagaimana Baginda Nabi Saw mempersatukan seluruh entitas masyarakat di Madinah. Beliau menggunakan pendekatan-pendekatan yang arif dan penuh kesantunan. Menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya, Islam yang ramah, Islam yang rahmah, Islam yang selalu memberikan nilai-nilai luas dan dinamis, sehingga Islam  akan selalu mampu menjawab tantangan zaman.

Hal yang lebih luar biasa lagi, bahwa Baginda Nabi Saw tidak menjadikan Madinah sebagai negara Islam. Melainkan negara yang didasarkan pada prinsip kewarganegaraan dan pluralisme, sehingga keputusan didasarkan atas kesepakatan bersama. Tidak bergantung pada golongan tertentu. Berdasarkan prinsip itulah, persatuan dalam kemajemukan di Madinah dapat terwujud.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait