Pesantren dan Metode Dakwah Berbasis Kultural

Artikel Populer

Nizam Noor Hadi
Nizam Noor Hadi
Mahasiswa Universitas AL-Azhar Mesir

Kopiah – Pesantren merupakan institusi pendidikan yang menjadi aset terpenting dalam perkembangan sejarah Indonesia. Subjek atau elemen pokok yang terdapat di dalam pesantren terdiri dari kiai dan para santri. Masyarakat pesantren ini dikenal memiliki komitmen yang kuat terhadap pengembangan pendidikan dan penyebaran dakwah Islam yang berbasis tradisi lokal.

Kiai sebagai pemimpin utama bertugas mengatur segala kebijakan terkait aspek pendidikan, ekonomi, politik dan sosial pesantren. Sedangkan santri memiliki tugas utama untuk belajar, mengaji dan membina etika mulia. Kiai dan santri dikenal sebagai aktor utama yang merepresentasikan kiprah serta pengabdian pesantren di tengah-tengah keragaman kultur dan budaya masyarakat Nusantara.

Terlepas dari perbedaan pandangan terkait akar sejarah kemunculan kata ‘pesantren’, apakah melalui proses asimilasi budaya atau murni lahir dari rahim ajaran Islam, pesantren disadari telah memberikan kontribusi aktif dalam perjalanan histori kemerdekaan bangsa Indonesia.

Puncaknya ketika Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama menggelorakan semangat juang kemerdekaan NKRI, sembari mencetuskan fatwa keharusan untuk membela Tanah Air dari segala bentuk penjajahan. Momen bersejarah tersebut lantas dikenang dan diabadikan sebagai Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober.    

Sampai saat ini, ketika tantangan kehidupan berupa hantaman budaya asing menyerang serta mengikis identitas jati diri bangsa, pesantren selalu proaktif membentengi diri para santri dan masyarakat sekitarnya dengan nilai-nilai nasionalisme dan religiositas.

Di samping itu, rongrongan doktrin dan ideologi fundamentalisme-ekstremisme yang menggunakan ‘baju agama’ sering kali ‘menipu’ generasi muda bangsa ini. Alih-alih mempelajari ilmu agama secara gradual dan komprehensif, beberapa oknum fundamentalis agama justru mengajak masyarakat awam meninggalkan praktik tradisi keagamaan.

Tentu saja, di beberapa daerah Nusantara, gerakan puritan yang mereka lakukan menimbulkan kegaduhan dan gesekan-gesekan sosial. Hal ini dipicu oleh pendekatan dakwah yang mereka lakukan di tengah-tengah masyarakat, tidak mengindahkan norma-norma tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun silam.

Sedangkan pesantren memiliki metode dakwah dan pendidikan yang berbeda dengan gerakan Islam kalangan fundamentalis-ekstremis. Oleh sebab pesantren mendidik para santri agar senantiasa berbaur dan menghargai tradisi yang berkembang di masyarakat Nusantara.    Sebagaimana pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Walisongo ketika mula-mula menyebarkan ajaran Islam. Mereka berusaha untuk mengenalkan agama Islam kepada masyarakat Jawa dengan pendekatan kultural dan persuasif.

Selain berperan sebagai pusat pengembangan pendidikan, pesantren juga berfungsi menjadi sarana penyebaran dakwah Islam yang berbasis kultural. Hal ini tentu sejalan dengan langkah-langkah dakwah yang dipraktikkan oleh Walisongo di Tanah Air.

Menurut Ali Hasymi, dakwah Islam masuk ke Pulau Jawa sekitar tahun 797 H (1395 M), dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim atas perintah Sultan Zaenal Abidin Bahian Syah dari kerajaan Islam Samudera Pasai. Untuk menguatkan basis dakwah Islam di Pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim mendirikan pusat pendidikan Islam (pesantren) di Loren, Jawa Timur.

Selanjutnya, kiprah Maulana Malik Ibrahim dalam menyebarkan dakwah Islam lewat perantara akulturasi budaya dengan mendirikan pesantren dilanjutkan oleh Sunan Ampel. Pesantren tersebut terletak di Ampel Denta. Berkat kegigihan Sunan Ampel dalam mendidik santri, ia berhasil mencetak kader-kader dai yang tangguh.

Santri atau kader dai tersebut lantas melanjutkan estafet dakwah Sunan Ampel sehingga dikenal kemudian dengan sebutan Walisongo. Mereka berdakwah dengan cara-cara yang ramah dan toleran sampai-sampai Islam tersebar seantero Nusantara.

Clifford Geertz, seorang antropolog berkebangsaan Amerika Serikat mengatakan, pendekatan dakwah Walisongo di Jawa adalah dengan cara menyesuaikan diri, menyerap, bersikap pragmatis dan menempuh cara yang berangsur-angsur. Sehingga, dapat dikatakan bahwa Islam di Indonesia (Jawa, pen.) bersifat fabian (menghendaki perubahan yang berangsur-angsur).

Melihat fakta yang demikian, pesantren terbukti menjadi pusat perdaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal. Pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para santri terbukti efektif, sehingga mudah diterima oleh khalayak ramai. Oleh karena itu, kiprah pesantren dalam menjaga keutuhan NKRI sekaligus memberikan sumbangsih terhadap peningkatan kualitas pendidikan tidak dapat diragukan lagi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait