Muhammad Abduh Bukan Salafi III

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Kita kembali kepada Muhammad Abduh. Dalam tulisan yang ia buat untuk mengritik Farah Anton, terlihat secara jelas bagaimana pandangannya mengenai ayat mutasybihat, yang kemudian ia rangkum dalam bab pokok kedua dari beberapa pokok ajaran Islam. Ia mengatakan:

” Seluruh umat Islam telah sepakat, kecuali segelintir orang yang tidak perlu dipertimbangkan, bahwa ketika akal dan naql berlawanan, maka yang musti diambil adalah petunjuk akal. ”  ( A’mal Kamilah Jilid 3 hal.301)

Setelah itu, dia menerangkan bahwa terdapat dua metode yang dipakai oleh umat Islam dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat. Pertama adalah metode tafwidl yang menyerahkan makna sepenuhnya kepada Allah Swt. Dan yang kedua adalah metode takwil, yakni mentakwil naql/teks dengan menggunkan kaidah bahasa, sehingga dari takwil tersebut akan terpahami sebuah makna yang selaras dengan hukum akal.

Pandangan Muhammad Abduh di sini jelas sekali berpihak kepada asyairah, mulai dari metode takwil yang ditulis oleh Imam Ghazali dalam kitab Qanun fi Takwil hinnga Imam Fakhrudin Razi dalam Asas al Taqdis. Ia jelas berbeda dengan Ibnu Taimiyah, karena buku Ar Razi tersebut, Ibnu Taimiyah sampai membuat buku tandingan berjudul Muwafaqat yang ngotot bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara akal dan naql. Ringkasnya, yang melatarbelakangi Ibnu Taimiyah sampai menulis buku setebal itu adalah prinsip nususiyah dan penolakannya terhadap takwil.

3. Karakter selanjutnya kaum salafiah adalah mudah mengkafirkan.

Paham takfiri yang melekat pada diri mereka, berangkat dari konsepsi bidah yang dimaknai secara ceroboh dan sembrono. Dalilnya: apa saja yang tidak dilakukan oleh Nabi Saw adalah bidah dan sesat. Efeknya, ketika mereka melihat seseorang mengangkat tangannya setelah solat untuk berdoa, maka mereka hukumi itu bidah. Ketika habis salat orang bersalam-salaman, maka itu juga bid’ah, karena tidak ada di masa Nabi Saw. Puncaknya adalah saat mereka menghukumi kafir orang yang bertawassul dan bertabarruk kepada Nabi dan para wali-wali Allah Swt, karena perbuatan tersebut, bagi mereka, tidak ada di zaman Nabi Saw, karena sama saja menyekutukan Allah Saw.

Dari sini terlihat pola perumusan hukum versi salafiah: tidak dilakukak Nabi Saw berarti haram dan bidah dan sesat!!

Syekh Ali Jumah mengkritik secara tegas kecenderungan bidah-membidahakan semacam ini dalam bukunya Al Mutasyaddidun. Perumusan hukum ( istinbat al ahkam) kaum salafi-wahabi semacam ini tidak ada dan tidak dikenal dalam sejarah keilmuan Islam. Syekh Ali mengatakan:

Perumusan hukum Islam itu bukan berdasar karena ” tidak dilakukan” Nabi Saw, melainkan karena ada penegasan dari Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Empat sumber hukum ini sudah disepakati oleh para ulama. Sedangkan masih ada lagi sumber-sumber lain yang masih diperdebatkan, seperti ucapan sahabat Nabi, Saddu dzariah, amal ahli Madinah, hadis mursal, istihsan dan hadis daif yang diantara semua itu, tidak ditemui konsepsi  “karena tidak pernah dilakukan Nabi Saw!”

Berkaitan dengan takfirisme seperti yang telah diuraikan di atas, maka tidak mungkin hal tersebut disematkan kepada Muhammad Abduh yang dikenal sebagai pembaharu Islam. Dia pernah memberikan statement yang begitu fenomenal yang kemudian dikutip dan menginspirasi banyak orang sebagai spirit toleransi beragama.

Ia mengatakan:

” Ketika ada ucapan dari seseorang, yang mungkin berpotensi munuju kekafiran dari seratus sisi, sedangan terdapat satu kemungkinan saja untuk menuju Islam, maka yang diambil adalah potensi keislamannya. ” ( A’mal Kamilah, jilid 3, hal.302)

Dari pembahasan di atas, rupanya menjadi jelas, bahwa secara bangunan akidah, Muhammad Abduh jelas berbeda dengan salafiah yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Rupanya baru sedikit sekali yang kita singgung, apalagi dibandingkan dengan ruang-ruang yang menjadi pusat pemikirannya, mulai dari ruang akidah, ruang syariah, ruang kemasyarakatan, pendidikan sampai tasawwuf dan lain sebagainya. Saya ingin menutup paragraf ini dengan penjelasan dari Syekh Ali Jumah yang memberikan pembelaan terhadap Muhammad Abduh setelah ada kesan negatif dari sebagian ulama Syam. Kesalahpahaman yang ada yang melekat kepada Muhammad Abduh, bagi Syekh Ali, itu karena mengenal beliau dari tulisan-tulisan yang seringkali tidak bisa diterima kebenarannya, seperti tuduhan Muhammad Abduh menjadi anggota Fremason misalnya. Itu semua tidak tepat. Sedangkan kami, kata Syekh Ali, mengenal beliau karena hidup bersama, mendapat riwayat dari para guru yang bertemu dan mengambil ilmu dari Muhammad Abduh secara langsung. Di Azhar, nama Muhammad Abduh diabadikan melalui nama salah satu auditoriom Qa’ah Muahhammad Abduh. Ini cukup sebagai bukti, kata Syekh Ali, bahwa sosok Muhammad Abduh adalah sosok ideal dan sosok Imam yang akan terus diikuti jejaknya. Dia, dalam ungkapan Syekh Ali, adalah:

عالم اراد ان ينفع الناس و ان يكون معهم، يحمل هم المسلمين، ويحاول ان يجيد بقدر الامكان خدمة لهم.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait