Ketika Habib Bourguiba Bicara Islam

Islam yang dipahami oleh Bourguiba adalah Islam yang berorientasi pada kemajuan.

Artikel Populer

Kopiah.Co — Abdul Salam Qilal menulis buku tentang Habib Bourguiba dan menuliskan judulnya dengan, “Habib Bourguiba : Za’im Ummah wa Rois Daulah” yang artinya, “Habib Bourguiba : Pemimpin Bangsa dan Pemimpin Negara”. Syadzili Qlibi, menulis judul bukunya dengan, “Adlwa’ min al-Dzakirah : al-Habib Bourguiba” yang artinya, “Cahaya-Cahaya dari Ingatan: Habib Borguiba”. Abdul Aziz Qosim, menulis judul bukunya dengan, “Bourguiba : al-Mustami’ al-Akbar” yang maknanya, “Bourguiba : Pendengar yang Baik”, dan masih banyak lagi para cendekiawan, pemikir, dan politisi ulung — yang hidup sezaman dengan Bourguiba — yang membicarakan secara khusus tentang Habib Bourguiba dalam karyanya.

Memang, membicarakan sosok founding father Tunisia yang lahir di kota Monastir, Tunisia pada 3 Agustus 1903 ini selalu menarik. Bukan hanya membicarakan personalnya yang kharismatik, tapi juga pemikiran, pergerakan, dan pengabdian cintanya kepada Tunisia yang tak ada habisnya untuk kita bahas dan diskusikan.

Bourguiba muda lahir dari keluarga yang memiliki perhatian besar untuk pendidikan. Ia mengenyam pendidikannya di sekolah modern al-Shodiqiyah dan meraih ijazah ‘bakaluriya’ – jenjang pendidikan setelah SMA dan sebelum Universitas — pada tahun 1924, sebelum akhirnya ia kuliah di Paris, dalam fokus jurusan ilmu politik di Sorbonne, Prancis. Setelah lulus, Bourguiba muda pun kembali ke Tunis, tepatnya pada tahun 1927, lalu terlibat dalam gerakan politik pada tahun 1931 sebagai jurnalis dan menjadi kolumnis di koran ‘Suara Tunisia’.

Setelah itu, Bourguiba sendiri mendirikan sebuah media yang diberi nama “al-‘Amal al-Tunisi“. Kemudian pada tahun 1933, Bourguiba menjadi ketua partai al-Hur al-Dusturi al-Tunisi, sebagai spirit baru dari partai yang lama, yang didirikan oleh Abdul Aziz al-Tsa’alabi. Di partai inilah Habib Bourguiba melakukan gerakan-gerakan politik, sehingga membawa Tunisia meraih kemerdekaan dari Prancis.

Pergerakan Bourguiba di bidang jurnalistik, menjadi penulis, dan mendirikan partai politik adalah wujud serta modal dalam membangun kesadaran politik di tengah masyarakat. Karena pada masa itu, gerakan politik menjadi jalan yang mampu mendobrak pintu penjajahan dan membebaskan kemerdekaan. Melalui partai politik juga Bourguiba dan rekan-rekan seperjuangannya dapat menyatukan ide-ide serta gagasan untuk membangun Tunisia pasca-kemerdekaan.

Islam dan Habib Bourguiba

Pembahasan mengenai Habib Bourguiba dan Islam selalu hangat diperbincangkan. Pasalnya, Bapak Tunisia Modern ini selalu digambarkan sebagai tokoh yang anti Islam. Meskipun masih banyak juga para tokoh yang membelanya dengan mengatakan, “Habib Bourguiba adalah pemikir besar, yang mana Islam dipahaminya sebagai agama yang berorientasi pada kemajuan”, seperti disampaikan Abdul Salam Qilal dalam bukunya “Habib Bourguiba : Zaim Ummah wa Rais Daulah”.

Abdul Salam Qilal adalah seorang politisi, akademisi, dan pemikir yang hidup sezaman dengan Habib Bourguiba. Melalui bukunya yang saya sebut di atas, ia menceritakan tentang pengalamannya bersama Bourguiba, pemikirannya, diplomasi dan pergerakannya, bahkan menjabarkan tentang “Islam dalam kacamata Habib Bourguiba”.

Menurut Qilal, framing tentang Bourguiba yang disebut sebagai anti-Islam dibuat oleh lawan politik Bourguiba, yang bertujuan untuk menjatuhkan Bourguiba. Menurutnya, catatan-catatan lawan politik Bourguiba yang mempertanyakan keislaman Bourguiba bahkan mencapnya sebagai seorang yang keluar dari Islam (murtad) adalah anggapan yang tidak disampaikan dengan tulus, melainkan karena kepentingan politik semata. Bagi Qilal, hal itu tidaklah adil, karena apa yang disampaikan bahwa Bourguiba anti-Islam adalah hal yang keliru.

Qilal menjelaskan bahwa pada zaman Habib Bourguiba, pendiri bangsa Tunisia modern itu menaruh perhatian yang besar terhadap Islam. Ia banyak membangun masjid, memperhatikan perkembangan Ta’lim Zaytuni (pusat pembelajaran Islam), menjaga tradisi perayaan maulid Nabi yang semarak di berbagai kota di Tunisia, dan bahkan selalu berpidato tentang akhlak atau karakter luhur yang diajarkan Islam di hadapan warga Tunisia. Penjelasan Qilal dalam bukunya itu dibarengi juga dengan foto Bourguiba ketika berpidato di Masjid Zaytuna dan foto bersama para ulama Zaytuna.

Bagi Bourguiba, ajaran-ajaran Islam itu mengajak kepada kemajuan. Hanya saja, tafsir atau interpretasi tentang Islam yang salah, yang menjadi sebab keterbelakangan dan kemunduran. Menurut Bourguiba, Jika pemahaman keislaman mampu menjadi inspirasi kemajuan, maka pemahaman keislaman juga bisa menjadi sebab keterbelakangan, tergantung Islam itu dipahami oleh siapa dan bagaimana.

Ia juga berpendapat, bahwa seyogianya ajaran agama itu menjadi spirit dasar dalam memperbaiki kualitas etos kerja. Dengan demikian, sikap dan tingkah laku sehari-hari kita dapat diwarnai oleh nilai-nilai yang bersumber dari Islam, yang mana semuanya menuntun kepada kemajuan, keadilan, toleransi, toleransi, dan keterbukaan. Nilai-nilai kelima itu juga yang dalam bahasa Muhammad Thahir bin ‘Asyur, ulama ensiklopedis Tunisia disebut dengan ” akhlak al-afādlil ” atau budi pekerti yang luhur, yang menjadi pilar untuk membangun peradaban yang salih. 

Menurut Qilal, upaya perjuangan Bourguiba merebut kemerdekaan Tunisia dan melepaskan diri dari ikatan penjajahan itu juga dapat dipandang sebagai refleksi dari keyakinan keislamannya, dan kekuatan prinsip Bourguiba tentang setiap manusia yang harus diberikan hak untuk merdeka. Prinsip ini senada dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yang juga disampaikan oleh Ibnu ‘Asyur dalam Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah, bahwa setiap manusia harus merdeka (al-Hurriyah) yang berarti lepas dari perbudakaan dan mampu mengatur dirinya sesuka hatinya tanpa ada tekanan.

Bourguiba dalam Islam dan Habib Bourguiba karya Qilal, menegaskan bahwa, “rahasia di balik kemunduran dan keterbelakangan umat Islam adalah penolakan mereka terhadap pemikiran, dan membatasi akal untuk berpikir kreatif dan inovatif”. Bourguiba meyakini bahwa pintu ijtihad itu selalu terbuka. Hal itu juga yang menjadikan Islam senantiasa relevan menjadi pedoman hidup umat kapan pun dan di mana pun, atau dalam bahasa Arab dikenal salih li kulli zaman wa makan.

Dalam bukunya, Qilal juga menceritakan pengalamannya mendampingi kunjungan resmi Bourguiba ke Istanbul, Turki pada Maret 1965, serta perjalanan ke Yunani dan Yugoslavia. Dalam pidatonya di Istanbul, Bourguiba dengan lantang menyampaikan bahwa agama Islam adalah agama pembangunan dan kemajuan. Ia juga menyatakan bahwa ia tidak anti-Islam, tetapi anti terhadap cara berpikir umat Islam yang keliru dan pemahaman keislaman yang salah, yang menyebabkan keterbelakangan.

Habib Bourguiba juga merasa kecewa terhadap umat Islam yang menjadikan syariat Islam, contohnya adalah puasa menjadi sebab untuk tidak bekerja dan bermalas-malasan. Padahal, di masa itu Tunisia sedang berada dalam darurat krisis, yang membutuhkan setiap warga Tunisia untuk bekerja keras agar bisa keluar dari krisis dan membangun kemaslahatan bersama. Islam yang diyakini oleh Bourguiba adalah Islam yang selalu memberikan kemudahan, bukan kesulitan. Kesulitan itu terkadang dibuat sendiri oleh cara berpikir umat Islam, bukan oleh Islam.

Dalam pidatonya di Istanbul, Bourguiba menyampaikan, “faqad ‘a‘lanaa anna al-din laisa lahu ‘alaqat bi asbabi inhitat al-muslimina, wa anna al-Islam la yumkin an yakun dzari’atan li al-ta’akhur wa la mubarriran li al -tadahuri wa al-tada’i”, yang maknanya, “kami telah menyatakan bahwa agama tidak ada hubungannya dengan kemunduran umat Islam, dan bahwa Islam tidak dapat menjadi alasan keterbelakangan atau pembenaran untuk kemerosotan dan keruntuhan”.

Bourguiba juga melanjutkan pidatonya dengan mengkritisi pemahaman keagamaan yang kaku. Kata Bourguiba, “tanggung jawab dalam semua ini (keterbelakangan), adalah tanggung jawab umat Islam, bukan Islam, karena pemahaman mereka (umat Islam) yang jumud tentang Islam”. Bagi Bourguiba, nilai-nilai Islam yang baik itu tidak terlihat kecuali ketika dipraktekkan oleh pemeluknya. Sebab itu, seyogianya setiap umat Islam berperilaku sesuai dengan ajaran Islam yang benar, yaitu yang membawa kemajuan, kemaslahatan, dan kedamaian.

“Kami telah memberikan perhatian yang lebih kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi, menarik inspirasi (dari keduanya) mengenai prinsip-prinsip yang berorientasi pada kemajuan, lalu kami mempraktikannya. Kami tidak mengingkari bahwa Islam adalah yang demikian itu (yang ajarannya berorientasi kepada kemajuan)”, tegas Bourguiba di hadapan para warga Turki. Ia merasa miris kepada umat Islam yang mengkhianati Islam dan menodai Islam dengan pemahaman keliru dan mengatasnamakan Islam akan hal itu. Tidak hanya mengatasnamakan Islam untuk sebuah keterbelakangan, tapi juga mengatasnamakan Islam untuk sebuah perilaku kekerasan. Syadzili Qlibi dalam bukunya “adlwa min al-dzakirah : al-Habib Bourguiba” juga mencatat pengalamannya bersama Habib Bourguiba.

Islam yang dipahami oleh Habib Bourguiba adalah Islam yang luhur, berorientasi pada kemajuan, anti-kekerasan, dan menjadi inspirasi dalam membangun peradaban yang berkeadaban dan berperikemanusiaan. Sebagai orang yang mempelajari ilmu agama, membaca pemikiran Bourguiba tentang Islam ini seharusnya merasa tertampar, bahwa dalam perkembangan dunia yang semakin modern ini, di manakah peran agamawan (kita)?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Cerita dari Palestina : Berbaik Sangka kepada Imigrasi Paling Ketat, Allenby Border

Kopiah.Co — Berbaik sangka dalam menjalani apapun ternyata dapat menjadi perjalanan hidup kita menjadi ringan, termasuk saat singgah ke...

Artikel Terkait