Siapa Mujadid Menurut Mbah Moen?

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Kita patut bangga karena Indonesia mempunyai seorang tokoh dan ulama yang kharismatik seperti Mbah K.H. Maimoen Zubair. Kiprahnya sebagai seorang kiai pesantren patut dicontoh karena mampu menghadirkan sosok sebagai agamawan yang ideal. Gelar kiai yang ia sandang, tak membatasi multi perannya di ranah masyarakat baik sebagai cendekiawan atau politisi.

Ulama Indonesia yang tak diragukan lagi otoritas keilmuannya ini telah menulis banyak karya. Salah satunya Al Ulama Al Mujaddidun, yang berarti Para Ulama Pembaharu. Buku ini ditulis oleh beliau pada tahun 2007 lalu. Kita butuh karya semacam ini sebagai ketegasan bahwa keilmuan Islam perlu batasan-batasan. Khususnya dalan pembahasan tajdid/ pembaharuan Islam.

Para ulama terdahulu begitu menghargai status tajdid ini, tindakan itu bukan sekadar urusan baru-memperbaharui begitu saja. Tidak, bukan begitu. Ada skemanya. Karena jika tidak ada aturannya, lalu apa bedanya antara tajdid dengan bid’ah yang memang cenderung pada hal-hal baru pula? Begitu juga soal siapa saja pihak (lebih tepatnya tokoh) yang layak disebut sebagai al-mujaddid yang statusnya begitu mulia sebagaimana terpahami dalan hadis Nabi SAW:

“Sesungguhnya Allah SWT akan mendatangkan pada umat ini pada setiap penghujung seratus tahunnya, seseorang yang memperbaharui agama ini.” (HR. Abu Dawud)

Kita tahu bahwa terdapat banyak sekali ulama dan para pejuang dalam sejarah umat Islam. Dari sekian ribu, bahkan ratusan ribu tersebut, siapakah yang berhak menyandang gelar pembaharu yang diutus oleh Allah SWT dalan tiap satu kurun tersebut? Atau, di Indonesia yang kaya dengan ulama dan cendekiawan itu, siapakah yang berhak disebut sebagai pembaharu? Bagaimana cara kita mengidentifikasi bahwa seseorang itu adalah pembaharu? Kita tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti cukup mengandalkan logika umum. Akan tetapi, yang kita butuhkan adakah logika ulama.

Oleh karena itu, Imam Suyuti menuliskan nama-nama mujadid sebagaimana tertuang dalam bait-bait rajaz yang ia namai Tuhfah al Muhtadin li Asma al Mujaddidin. Al-Suyuti menjelaskan bahwa urut-urutan para pembaharu seperti ini, abad pertama dipegang oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Abad kedua dipegang oleh Imam Syafii. Pada abad ketiga adalah Imam Asy’ari dan Ibnu Suraij. Abad keempat adalah Al-Baqillani atau Al-Isfiroini. Abad kelima adalah Abu Hamid Al-Ghozali. Lalu abad keenam diisi oleh Imam Fakhrudin ar-Rozi dan Imam Rafi’i. Lalu abad ketuju diisi oleh Ibnu Daqiq al-Aid. Abad ke delapan adalah Al-Bulqini.

Dari sekian abad, kita bisa mencatat bahwa mereka para pembaharu bukan ulama kaleng-kaleng, yang semuanya bermuara pada ahlussunnah wal-jamaah. Namun menariknya, kata pembaharuan kini setidaknya dalam satu abad terakhir, menjadi bahan rebutan wacana, seolah menyimpang dari jalur yang dijelaskan oleh para ulama itu.

Misalnya saja di Mesir terdapat seorang cendekiawan terkenal Prof. Dr. Hasan Hanafi yang menulis buku Turast wa Tajdid. Buku ini menuai kontrovorsi, sampai-sampai Syaikh Imam Akbar Al-Azhar Ahmad Toyyib menulis satu buku khusus sebagai kritik atas karya Hassan Hanafi tadi.

Begitu juga Dr. Abdul Muta’ali as-Sha’idi yang menulis buku berjudul Al Mujaddidun fi Al-Islam. Buku ini juga tak kalah unik dibanding karya Hasan Hanafi di atas. Pasalnya, ia tak sungkan-sungkan menyebut nama Mirza Ghulam Ahmad dan Mustafa Kamal Atartuk sebagai bagian dari golongan pembaharu Islam. Hal ini berangkat dari pemahaman Islam itu sendiri. Bagi Dr. Abdul Muta’ali, makna tajdid tidak bisa berfungsi jika memang Islam diartikan sebagai agama ritual ibadah saja. Karena tidak ada perubahan dalam ritual ibadah dalam Islam, maka mustahil ada tajdid di dalamnya.

Menurutnya, pemaknaan yang tepat atas Islam adalah sebagai agama kebangkitan dan peradaban sekaligus al-nuhudl wa al-madani. Hal ini terbukti bahwa Islam pada mulanya muncul dari arab yang notabene sebagai bangsa ummy (tidak mengenal baca-tulis), maka ketika Islam datang adalah sebagai pengentasan bangsa Arab dari bangsa yang terbelakang, menjadi bangsa yang maju dan bisa bersaing dengan peradaban luar (saat itu yang berkuasa adalah Romawi dan Persia).

Mereka juga berkesimpulan, Islam tidak hanya mengantarkan pemeluknya pada kedamaian akhirat, akan tetapi juga berorientasi pada kemaslahatan duniawi juga. Dan pembaharuan Islam, semestinya diartikan demikian, yakni bercorak kebangkitan agama dan peradaban sekaligus.

Oleh karena itu, mereka memaknai tajdid dan siapa yang layak disebut mujadid adalah siapapun yang mampu mengambil peran tersebut. Sekalipun itu di luar Suni, seperti Syiah dan lain-lain. Dr. Abdul Muta’ali menilai, pembatasan tajdid terhadap satu aliran madzhab tertentu adalah dampak dari fanatisme yang ekstrem. ( baca:al-mujaddidun hal-16)

Jika di sadari, di sinilah menariknya Mbah Moen. Berbeda dari pendapat tentang tajdid yang begitu longgar dan terkesan kontroversial di atas, Mbah Moen mempunyai pandangan yang lebih disiplin.

Perihal hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di atas, Mbah Moen menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan orang yang memperbaharui adalah orang yang memberikan penjelasan, mana sunnah dan mana bid’ah, memperkaya khazanah keilmuan Islam.

Dalam hal ini, Mbah Moen mempunyai definisi tajdid, “mengembalikan umat kepada tariqat dan manhaj kaum salaf as-salih, serta menjaganya agar sesuai dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah beriring berjalannya waktu.” (baca: al-ulama al-mujaddidun hal-7).

Ringkasnya, Mbah Moen mengajarkan kepada kita bahwa persoalan tajdid bukan persoalan sepele. Tajdid ibarat batas, ia adalah keistimewaan khusus yang tidak dimiliki sembarang orang. Dan di bagian-bagian akhir bukunya, Mbah Moen berpesan bahwa umat harus mengikuti para ulama yang ahli fikih.

Kita tidak boleh keluar dari jalur tersebut, karena mereka adalah orang yang berpegang pada manhaj salaf sekaligus masuk kategori kelompok mayoritas as-sawad al-a’dzom. Lantas, siapakah mereka para mujadid dianggap layak saat ini? Dengan tegas Mbah Moen menulis: “hum al-muwafiqun li ‘ulama al-Haramain as-syarifaini wa ulama al-Azhar as-syarif” mereka adalah yang sejalan dengan ulama-ulama Haramain dan ulama Al-Azhar Syarif.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait