Dari “Sebelum Filsafat”

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Kali ini kita membicarakan Fakhrudin Faiz, melalui bukunya: Sebelum Filsafat. Buku ini menarik. Terhitung sudah sembilan kali naik cetak, sejak cetakan pertamanya pada tahun 2013. Angka ini cukup besar, sekaligus menjadi bukti, bahwa di Indonesia, masih banyak orang yang berminat untuk bsrsentuhan dengan filsafat. Minimal, tidak alergi untuk berpikir dan berkontemplasi. Karena itulah ciri khusus dari filsafat.

Banyak pakar filsafat di Indonesia. Dosen-dosen filsafat tersebar di berbagai universitas di Indonesia. Buku-buku filsafat terus bermunculan, entah terjemahan dari bahasa asing, atau buku diproduksi oleh anak-anak bangsa sendiri. Tapi dari sekian banyak itu, mengapa Fakhrudin Faiz? Ada apa dengan Fakhrudin Faiz? Kenapa dirinya begitu menarik? Di manakah letak keunikan dari keberfilsafatan Fakhrudin Faiz?

Ngaji Filsafat. Dua kata itu, ya, karena dua kata itulah yang membedakan antara Fakhrudin Faiz dengan selainnya.

Ngaji, kok filsafat. Filsafat, kok dingajikan. Dua hal yang terkesan berlawanan dan kurang akur itu kini menjadi lumrah berjalan bersama, berkat, sekurang-kurangnya, gebrakan Pak Fakhrudin Faiz.

Perihal kebersamaan antara dunia ngaji dan dunia filsafat ini mengingatkan kita pada perseteruan panjang antara ulama dan filosof. Eh maaf, yang saya maksud bukanlah perseteruan yang benar-benar berseteru antara filsafat dan pengajian yang mencirikan dunia pesantren, dunia syariat, tapi semacam gesekan pemikiran yang tidak bisa dibantah oleh sejarah. Kritikan tajam yang dilancarkan oleh Al Ghazali menandai puncak kegentingan, dengan rumusan tuduhan kafir atas tiga hal yang didoktrinkan filosof yunani, yang kemudian dilanjutkan dan didukung oleh Al Farabi dan Ibnu Sina dari kalangan filosof muslim.

Tiga hal tsesebut adalah bahwa alam ini qadim, Tuhan tak mengerti kejadian-kejadian parsial, dan peristiwa kebangkitan ruhani, bukan jasadi.

Tak lama setelah wafatnya Al Ghazali, lahirlah pemikir besar dari Magrib, pada abad yang sama, yaitu Ibnu Rusyd. Ia menulis buku-buku sebagai antitesa dari pemikiran Al Ghazali dan Mutakallimin, seperti Tahafut, Manahijul Adillah, konsepsi Qiyas, dan Fasl Maqal. Tersebab buku terakhir ini, Ibnu Rusyd disebut-sebut sebagai ulama membawa perdamaian antara syariat dan filsafat. Terkhusus tiga konsepsi yang membuat filosof menjadi kafir tadi, semuanya dibantah, diluruskan dan ditafsiri kembali konsepsi filosof tersebut oleh Ibnu Rusyd. Akhirnya, para filosof lega. Mereka mendapat pembelaan. Mereka tidak jadi kafir. Semuanya masih Islam. Letak perselisihan adalah pada ranah penafsiran terminologis antara dua kubu, filosof dan mutakallimin.

Kurang lebihnya, spirit yang dibawa oleh Fakhrudin Faiz adalah spirit Rushdian itu. Kalau tidak percaya, sebelum Fakhrudin Faiz, apakah ada buku-buku dan pemikiran-pemikiran para filosof seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles diajarkan di dunia pesantren. Jangankan diadakan pengajian, wong keberadaannya saja masih dianggap tabu, bahkan sesat dan menyesatkan! Ini bukan omong kosong, bahkan buku-buku yang ditulis oleh filosof muslim pun asing dalam dunia pesantren, seperti Hidayatul Hikmah karya al-Abhari, Uyunul Hikmah karya Ibnu Sina, Isyarat wa Tanbihat karya Ibnu Sina dan kitab-kitab filsafat yang lain juga belum ada yang diajarkan di Pesantren. Alasan mengapa dunia pesantren menghindari filsafat cukuplah konkrit, karena banyak orang yang kuliah mengambil jurusan filsafat yang awalnya salat menjadi tidak salat lagi. Aneh-aneh, lah!

Namun hal itu berbeda dengan Fakhrudin Faiz. Alih-alih membuat pengkaji filsafat tidak solat, malahan, kuliah umumnya tentang filsafat digelar secara khusuk di dalam Masjid.

Dan dalam bukunya itu, Fakhrudin Faiz juga menyoroti, atau lebih tepatnya, berupaya mendudukan keduanya. Meski ada kesan miring berupa pertentangan antara agama dan filsafat, namun para filosof dari kalangan agama sendiri tenyata banyak yang berpandangan bahwa antara keduanya itu tidak bertentangan. Ia mengatakan, ” Ketidakbertentangan filsafat dan agama bisa dilihat dari misi keduanya, yakni untuk menunjukkan kebenaran kepada manusia, meakipun jalurnya berbeda.” ( Sebelum Filsafat, hal. 171-172)

Fakhrudin Faiz tidak menyebut secara jelas, siapakah filosof muslim yang ia maksud tersebut. Namun saya mencoba meraba-raba, bahwa yang punya pandangan mirip demikian itu adalah Muhammad Iqbal, seorang filosof modern asal Persia, dalam bukunya Tajdid fi Al Tafkir al Dini.

Tapi apakah klaim kesamaan misi cukup menenangkan ke dua belah pihak. Bagimana seumpama, hasil atau doktrin keduannya berbeda, dalam arti, baik filsafat maupun agama, ternyata mempunyai rumusan kebenarannya masing-masing yang bersebarangan. Dan poin inilah yang menjadi fokus utama para ahli kalam terdahulu. Sayangnya, agama di sini memang sengaja dibiarkan maknanya sebagai agama secara umum, tidak mengerucut kepada Islam itu sendiri, padahal para peminat kajian Pak Faiz, kebanyakan adalah para santri dan mahasiswa muslim. Wal hasil, sikap untuk tidak mengerucut semacam ini membuat dirinya berada di posisi aman.

Lagi pula, buku yang ditulis oleh Fakhrudin Faiz itu bukan berniat merangkum hasil kajian para filosof, seperti yang dilakukan oleh Imam Fakhrurazi dalam Muhassilul Afkar misalnya, atau al Ghazali dalam Tahafutnya, Ibnu Rusyd dalam Tahafut Tahafutnya, atau Khawajah Zadah yang ingin mendamaikan kedua Imam besar tersebut. Rasanya terlalu naif jika kita terlalu membebani Fakhrudin Faiz dengan proyek-proyek besar sejarah teesebut. Bukan. Yang ditulis oleh Fakhrudin Faiz sudah tepat dan akurat sesuai target-marketnya: sebelum filsafat!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Cerita dari Palestina : Berbaik Sangka kepada Imigrasi Paling Ketat, Allenby Border

Kopiah.Co — Berbaik sangka dalam menjalani apapun ternyata dapat menjadi perjalanan hidup kita menjadi ringan, termasuk saat singgah ke...

Artikel Terkait