Demokrasi ala Khulafaurrashidin

Artikel Populer

Muhammad Wifqi Zidan Hailala
Muhammad Wifqi Zidan Hailala
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Meisir | Wakil Ketua Bidang Seni & Budaya PC GP Ansor Mesir

Kopiah.coPengertian demokrasi secara umum adalah, sistem pemerintahan yang mengizinkan rakyatnya memilih langsung perwakilan mereka untuk membentuk badan pemerintahan.

Dalam sejarah Islam, kita hanya mempelajari tentang keberlangsungan dan penyebaran Islam, bersamaan dengan ke-khalifahan yang ada pada waktu itu. Bahkan jarang sekali yang mempelajari tentang sistem pemerintahan apa saja yang ada pada waktu itu.

Dimulai dari era kekhalifahan Rashidun, atau lebih dikenal dengan Khulafaurrashidin  ini memiliki sistem pemerintahan yang sangat unik. Bahkan sukar untuk ditiru atau diimplementasikan pada zaman kita sekarang.

Saking uniknya tidak ada negara manapun yang sanggup menerapkan model pemerintahannya. Selanjutnya diteruskan oleh ke-Khalifahan Umayyah yang sistem pemerintahannya berupa monarki absolute.

Digantikan oleh kekhalifahan Abbasiyah yang mulanya menggunakan sistem absolute, lalu berubah menjadi sistem feodal dalam pemerintahannya. Terakhir, kekhalifahan Usmani atau lebih dikenal dengan Ottoman juga menggunakan sistem monarki absolut, dan pernah berganti menjadi monarki konstitusional di masa senjanya.

Setelah membaca sejarah dan mempelajari berbagai sistem pemerintahan di setiap kekhalifahan. Ternyata, kita justru menemukan sistem demokrasi sejak zaman Khulafaurrashidin.

Loh, kok bisa? Mari kita baca kembali tentang bagaimana Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah. Tepatnya sebelum baginda Nabi SAW dimakamkan, kaum Anshar mengadakan perkumpulan di Tsaqifah bani Sa’idah untuk menentukan siapa yang meneruskan kepemimpinan setelah baginda Nabi wafat.

Perkumpulan itu akhirnya terdengar di telinga kaum Muhajirin, lalu kaum Muhajirin mengadu pada sahabat Umar bin Khattab dan ia menyuruh seseorang untuk memanggil sahabat Abu Bakar yang sedang mempersiapkan jenazah Nabi untuk dikuburkan. Berangkatlah perwakilan Muhajirin ke Tsaqifah Bani Sa’idah, dan mereka adalah Abu bakar RA, Umar bin Khattab RA, dan Abu Ubaidah bin Jarrah RA.   

Setibanya perwakilan Muhajirin di Tsaqifah Bani Sa’idah, kaum Anshar telah menentukan calon pemimipinnya yaitu Sa’ad bin Ubadah RA. Terjadilah perdebatan diantara keduanya, lalu sahabat Umar meminta sahabat Abu bakar RA sebagai calon pemimpin.

Setelah melewati perdebatan yang panjang, sepakat di antara kedua kaum untuk memilih Abu Bakar sebagai pemimpin yang pada akhirnya berjuluk Khalifah. Datang dan berbondong-bondong masyarakat yang ada disekitar Tsaqifah untuk membai’at Abu Bakar sebagai Khalifah dan pembai’atan berlanjut setelah pemakaman Nabi SAW di dalam masjid Nabawi.

Bai’at dilakukan oleh semua masyarakat secara langsung atau melalui perwakilan dengan cara menjabat tangan Khalifah. Bai’at itu sendiri merupakan bentuk keridaan atau kerelaan masyarakat untuk dipimpin oleh pemimpin yang disepakati, setelah pembai’atan selesai resmilah Khalifah untuk menjabat dan melaksanakan tugasnya.

Bai’at di era Khulafaurrashidin wajib dilakukan oleh seluruh umat muslim pada waktu itu, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Di era modern yang serba canggih ini sistem seperti bai’at tidaklah dilakukan lagi, akan tetapi dimodernisasi dengan cara yang bisa kita sebut pemilu.

Sangat sulit sekali apabila kita harus menemui pemimpin dan menjabat tangan secara langsung maupun melalui perwakilan di zaman ini, yang mana akan menghabiskan waktu terlalu lama.

Maka pemilu diselenggarakan ditempat yang sudah disediakan dan masyarakat juga memilih calon pemimpin secara langsung layaknya bai’at. Apabila hasil sudah ditentukan maka pihak yang kalah juga harus menerima, rela, dan bersedia untuk dipimpin oleh pemenang yang dimana juga sama seperti bai’at.

Setelah pihak yang kalah dalam pemilu bersedia dan rela, maka keadaan ini juga seperti bai’at yang dilakukan dengan cara perwakilan, mewakili para pemilihnya pada saat pemilu.

Yang membedakan antara Bai’at dan pemilu adalah adanya golongan putih atau golput yang lebih memilih absen untuk pemilihan pemimpin. Sedangkan di era Khulafaurrashidin apabila ada yang melakukan golput maka akan ditindak lanjuti. Bai’at merupakan hal yang sakral di era Khulafaurrashidin, Khalifah tidak akan segera bertugas sebelum bai’at terlaksana secara total.

Walaupun setiap Khalifah dalam kekhalifahan Rashidun memiliki cara yang berbeda-beda dalam penunjukan pemimpin. Seperti penunjukan Umar bin Khattab RA sebagai pengganti oleh Abu Bakar RA, yang sekarang dikenal dengan sistem absolute. Dan terpilihnya Utsman bin Affan RA sebagai Khalifah dengan cara majlis syura, yang sekarang dikenal dengan sistem parlementer.

Akan tetapi bai’at tetaplah ada dan harus dilaksanakan secara menyeluruh. Itulah salah satu bentuk demokrasi dan masih banyak lagi yang dapat kita pelajari dari sejarah islam era Khulafaurrashidin, era para sahabat, sebaik-baik era setelah era baginda Nabi. Walaupun ada perbedaan dengan model demokrasi zaman ini, begitulah model demokrasi ala Khulafaurrashidin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait