Meluruskan Konsep Asy’ariyah yang Disalahpahami

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Spirit yang tak ingin surut dan penghayatan yang senantiasa jernih dan segar. Begitulah kira-kira saya menggambarkan Nurkhalis Majid, salah satu cendekiawan muslim berpengaruh dari Jombang itu.

Dinamika pemikiran Islam di Indonesia berhutang budi pada Cak Nur, sapaan populer yang dinisbatkan kepada Nurkhalis Majid. Jika di pesantren kita membutuhkan sistem pendidikian yang dirancang oleh para kiai untuk menuju keilmuan Islam tradisional, maka dalam dunia akademik kita belajar dari para cendekiawan, bagaimana caranya membicarakan Islam dengan cara modern dan universal.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dakwah Islam mempunyai karakternya masing-masing. Seorang dai di Jawa misalnya, pasti berbeda dengan dai di daerah luar Jawa, seperti di daerah Nusa Tenggara Timur misalnya. Kalau di Jawa, selain nuansa masyarakat yang cenderung homogen ditambah juga mayoritas berpenduduk muslim, maka untuk mengajarkan paham-paham keislaman lebih leluasa dibanding di daerah lain yang mana Islam masih masih minoritas di sana, ditambah hukum adat yang begitu kuat mengikat membuat seorang dai musti berhati-hati dan bijaksana dalam mengambil sikap. Begitu juga antara masyarakat desa dan masyarakat kota terdapat karakter yang berbeda. Di kota, orang-orang cenderung logis, maka hal-hal berkaitan agama musti dibungkus melalui cara-cara yang lebih modern. Sedangkan di desa, yang lebih dibutuhkan masyarakat adalah sosok yang bisa mengayomi, merangkul, dan siaga dalam suasana hidup sehari-hari.

Perihal karakter ini, kita bisa melihat buktinya dari pendekatan sejarah. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Agus Sunyoto, alasan mengapa Islam sulit diterima di Jawa pada zaman dahulu karena dibawakan oleh para saudagar yang mana, dalam sistem sosial masa itu pekerjaan berdagang adalah kasta yang rendah. Islam baru maju ketika dibawa walisongo yang notabene sebagai Brahmana ( para wali yang tidak mengurusi dunia) yang merupakan kasta tertinggi dalam strukstur sosial yang ada.

Lalu Cak Nur, sebagai seorang cendekiawan lulusan Barat, dirasa mampu membungkus paham-paham keislaman dengan gaya akademis dan elegan. Dan cara seperti itulah (meskipun tidak berlaku secara general) yang dibutuhkan oleh orang-orang kota.

Saya menyukai dan mengagumi tulisan-tulisan Cak Nur. Tapi kekaguman saya lantas tidak menghalangi saya untuk bertindak objektif. Ada beberapa hal yang tidak saya setujui terkait pemikiran Cak Nur. Terkhusu kritikannya atas paham Asy’ari soal “Perilaku Manusia” (af’alul ibad). Dalam bukunya yang terkenal berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Cak Nur menulis satu tema “Kekuatan dan Kelemaham Paham Asy’ari”.

Pembahasan tentang status perilaku manusia adalah pembahasan klasik, yang bisa dikatakan sebagai salah satu muasal terciptanya ilmu kalam, yakni perdebatan oleh kaum muslim sejak dahulu menyoal darimanakah perbuatan manusia itu berasal. Jaham bin Shafwan mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah SWT secara mutlak. Manusia tidak pengaruh sama sekali di sana, layaknya kapas yang terbawa angin kesana kemari. Paham inilah yang kemudian menginspirasi kaum Jabariah, dan Jaham bin Shafwan sendiri hingga akhirnya di eksekusi mati oleh Bani Umayah.

Lalu muncullah Ghilan al-Dimasyqi yang melawan paham itu. Bahwa manusialah yang mampu menciptakan amal perbuatannya, karena jika semua pekerjaan baik dan buruk dinisbatkan kepada Tuhan, maka hal itu berkonsekuensi, dalam pandangannya, pada sifat kezaliman Tuhan yang telah memaksa manusia untuk berbuat kemaksiatan. Paham ini kemudian mengilhami kaum Muktazilah sebagaimana terlihat dalam lima pokok prinsip teologi Muktazilah (usul al khomsah) yang meniscayakan sifat keadilan bagi Tuhan (‘adalah).

Lalu datanglah Imam Abu Hasan Al Asy’ari yang menjadi penengah antara kedua mazhab yang berlebihan condong kedua arah tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Ibrahim Al-Baijuri dalam Hasiyah ala Umul Barahin.
Sisi tengah yang diajarkan oleh Imam Asy’ari ialah meskipun semua perilaku manusia diciptakam oleh Alloh Swt, namun manusia juga punya peran yang dalam hal ini disebut sebagai kasb.

Pada titik ini, Cak Nur mencatat sisi lemah doktrin Asy’ariyah, dia mengganggap bahwa sekalipun manusia mempunyai kasb, akan tetapi hal itu tidak berdampak apa-apa juga pada akhirnya. Ia berpendapat:
“Menggambarkan betapa sulitnya memahami Konsep kasb dalam paham Asy‘ari. Maka tidak heran konsep itu menjadi sasaran kritik tajam para pemikir lain, termasuk Ibn Taimiyah yang menganggapnya sebagai salah satu keanehan atau absurditas ilmu kalām. ” ( Lihat Islam Doktrin dan Peradaban hal- 820 dalam Karya Lengkap Nurkhalis Majid).

Dalam statemen di atas, rupanya bisa kita catat bagaimana keberpihakannya yang mengarah pada Ibnu Taimiyah. Tidak sampai di situ, Cak Nur tak segan-segan menghadirkan syair gubahan Ibn Taimiyah yang ia anggap sebagai tandingan konsep kasb Asy’ariyah:
Tidak ada jalan keluar bagi manusia dari ketentuan-Nya,
Namun manusia tetap mampu memilih yang baik dan yang buruk
Jadi bukannya ia itu terpaksa tanpa kemauan,
melainkan ia berkehendak dengan terciptanya kemauan (dalam
dirinya).

Ibnu Taimiyah memang telah mengkritik konsep kasb Asya’iroh dan menyebutnya mirip dengan konsep Jabariyah. Namun satu hal yang tidak dicatat oleh Cak Nur ialah bahwasannya Ibnu Taimiyah di sini malah memberikan kesan terjebak pada konsep qodariyah yang digagas oleh Muktazilah. Mari kita cermati statemen Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Abu Zahrah di bawah ini:
” Sesungguhnya orang yang mengatakan bahwa usaha-usaha manusia itu adalah perbuatan Allah SWT dan manusia, jika yang ia maksud dengan perbuatan Allah SWT adalah karena berasal darinya, maka itu adalah pendapat yang batil sebagaiamana disepakati oleh kaum muslimin. Akan tetapi yang dimaksud adalah dikerjakan dan diciptakan oleh Allah SWT seperti ciptaan-ciptaannya yang lain, maka itu adalah benar.” ( Ibnu Taimiyah oleh Muhammad Muhammad Abu Zahro hal- 308).

Kutipan di atas membuktikan sisi kemiripan antara Ibnu Taimiyah dan Muktazilah. Tapi justru itu akan berdampak pada keabsurdan yang lain, bahwa meski Allah SWT menciptkan perbuatan manusia, namun yang berstatus sebagai pelaku adalah manusia sendiri. Dan hal ini bertolak belakang dengan Asy’ariyah dan Maturidiah yang kita yakini sebagai ahlussunnah wal jamaah yang berpendapat Allah SWT wajib mempunyai sifat wahdiyah ( ke-esa-an) secara mutlak, yakni wahdaniyat baik dalam dzat, sifat dan perbuatannya.

Mengenai pembahasan tentang kasb/usaha manusia di sini, Syekh Yusri mempunyai penggambaran yang jelas dan mudah dipahami. Dalam pandangan aswaja, Alloh Swt memang telah menciptakan semua perbuatan manusia, dari yang baik hingga yang buruk sekalipun. Namun pada hakikatnya Allah SWT tidak murni memaksa tanpa memberi peran kepada manusia sama sekali. Artinya, manusia juga diberi kenikmatan untuk berusaha atau melakukan kasbnya.

Misalnya orang yang berbelanja ke supermarket, di dalamnya, dia bebas memilih apa saja untuk dibeli, namun sebelum keluar, dia harus berdiri depan kasir untuk menotal dan membayar apa saja yang dia pilih tadi. Sama halnya dengan perbuatan manusia, meski secara hakikat semuanya adalah ciptaan Allah SWT, namun dirinya bisa memilih apa saja yang dia inginkan dan harus membayar perbuatannya, layaknya pembeli di supermarket tadi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait