Menghidupkan Gus Dur (2)

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Kopiah.co Pada masa hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai sosok yang terdepan menyuarakan pembelaan terhadap kaum minoritas. Mulai dari pembelaannya terhadap etnis Tionghoa, Gus Dur mencabut Inpres No.14 Tahun 1967 yang cenderung diskriminatif. Atas keputusannya tersebut, masyarakat Tionghoa dapat merayakan hari-hari besarnya secara terbuka.

Kemudian pembelaannya terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah yang diklaim sesat oleh kalangan muslim Indonesia sendiri. Kendati demikian, perlu diingat  bahwa pembelaan yang dilakukan Gus Dur secara eksplisit tidak mengarah pada isi ajaran Ahmadiyah tentang sesat atau tidaknya, namun murni untuk kaum minoritas dalam menjalankan hak dan kebebasan beragamanya sebagai warga negara. Tidak hanya itu, beberapa kasus yang menimpa para artis juga mendapat sorotan dari Gus Dur, seperi; Dorce, Inul Daratista dan Ahmad Dhani.

Sikap di atas adalah sebagian dari sikap heroik Presiden ke-4 Republik Indonesia itu. Meski pada awal mulanya tindakan-tindakan Gus Dur tersebut mendapat krikitan tajam dari berbagai pihak, namun lambat laun, terlebih setelah wafatnya, manusia Indonesia menjadi sadar bahwa yang dilakukannya itu adalah pelajaran berharga dalam sejarah keberagamaan bangsanya. Baru sekarang orang-orang mengelu-elukan sikap kebesaran sang guru bangsa itu.

Sampai di sini kita menyadari, bahwasannya apa yang telah dilakukan Gus Dur di atas, kini telah menjadi fakta-fakta sejarah. Kita pun mengerti, bahwa setiap zaman memiliki tantangan dan fakta-fakta sejarahnya sendiri. Maka dari sini, untuk menghadapi itu semua, terkhusus bagi kita yang senantiasa bergelut dengan realita aktual, langkah menghidupkan kembali Gus Dur menjadi sangat penting dan diperlukan.

Apa yang telah dilakukan Gus Dur dalam segi intelektualitas dan peran-peran reformasinya, setidaknya berangkat dari konsep pikiran yang telah disebutkan oleh penulis pada tulisan sebelumnya; menghidupkam paham universalitas dan kosmopolitanisme Islam.

Sederhananya, gagasan tentang kosmopolitanisme Islam ala Gus Dur berangkat dari pembacaannya yang mendalam tentang sejarah Islam. Gus Dur mencatat bahwa pada masa awal kesejarahan Islam, terlihat sampai pada abad ke-4 hijriah, umat Islam terbukti berhasil menunjukkan konsep-konsep teologis yang dinamis dan beragam.

Pertanyaan paling gila sekalipun mendapatkan ruangnya pada masa itu. Menariknya, kemunculan dan perkembangan firqah-firqah dari mutakallimin -dalam pandangan Gus Dur- tidak justru disikapi sebagai fenomena negatif dalam tubuh keilmuan Islam. Namun, Gus Dur melihat kemunculan firqah-firqah tersebut sebagai simbol keluhuran dari kosmopolitanisme Islam.

Pelajaran sejarah inilah yang ingin dihidupkan kembali oleh Gus Dur. Dalam pandangannya, fakta historis penting untuk dipraktikkan oleh kita semua dalam menghadapi tantangan dunia modern, karena tanpa spirit keterbukaan dan kebebasan berdialektika seperti itu, orang muslim tidak akan bisa bergerak maju ke depan, bahkan malah menjadi beban kemajuan itu sendiri. Dalam hal ini, kaum muslim tak bisa bertindak sebagai subjek, tapi hanya bahan-bahan objek belaka. Mirisnya, apa yang dikatakan Gus Dur di sini sedikit banyak telah terbukti. Kita begitu terbiasa menjadi masyarakat konsumen, bukan sebagai produsen.

Selain itu, Gus Dur juga menegaskan akan pentingnya wujud keseimbangan antara spirit kebebasan berintelektual dengan imperiatif norma-norma keagamaan. Hal inilah yang menyebabkan praktik zuhud dalam dunia tasawwuf termasuk dari bagian pembebasan.

Maka bukan hal aneh, misalnya, Imam Hasan al-Bashri Ra, selain dirinya yang dikenal sebagai salah satu pembesar dalam dunia kesufian, ternyata beliau juga pakar dalam ilmu kebahasaan. Imam Kholil bin Ahmad Al Farohidi, selain dikenal sebagai sosok yang saleh ritual, ternyata beliau juga sangat terpengaruh oleh alam pikiran Helenisme. Hal itu terbukti dalam penyusunan karya monumentalnya, Qamus al- ‘Ain yang berdasar pada sistematika filsafat yunani kuno.

Begitu juga Imam Syafii yang selain terkenal sebagai seorang yang saleh dan wira’i, ternyata mampu merekonstruksi cara pengambilan hukum yang berdasar pada nash Quran dan hadis, serta dengan metode qiyas yang kemudian rumusan itu terpahami dalam ilmu ushul fiqh.

Menariknya, gagasan Gus Dur tentang universalitas dan kosmopolitanisme Islam juga pernah dituliskan oleh Nurcholish Madjid atau Cak Nur, sapaan akrabnya. Cak Nur menguraikan tema ini secara panjang lebar dalam bukunya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban. Meski pada hakikatnya kedua tokoh ini mengarah kepada tujuan yang sama, namun terdapat perbedaan pada titik bertolaknya.

Gus Dur menyimpulkan nilai universalitas Islam itu berangkat dari lima jaminan dasar ajaran Islam (maqashid syariah), dan spirit kosmopolitanisme adalah unsur terpenting dalam watak peradaban Islam. Sementara Cak Nur membicarakan universalitas Islam sebagai keniscayaan dari makna Islam itu sendiri, baik dalam pemaknaanya secara terminologis ataupun secara petunjuk linguistik sebagaimana penggunaanya dalam Al Quran.

Islam dipahami sebagai ajaran universal. Menilik bahwa sebenarnya para nabi terdahulu beserta syariat-syariatnya mengarah pada ajaran yang dibawa oleh nabi terakhir Muhammad Saw, yakni Islam, yang berarti kepasrahan kepada Allah Swt. Dari sini, dapat dipahami bahwa Islam adalah agama universal yang berdasarkan pada spirit tauhid, satu ketuhanan, yang oleh Cak Nur diistilahkan dengan wihdat al-Uluhiyyah. Dari spirit kepasrahan pada satu satu Tuhan yang sama inilah yang kemudian melahirkan konsep satu kemanusiaan (yang oleh Cak Nur disebut sebagai “Wihdat al-Insaniah”, dan kalau boleh saya akan menyebutnya sebagai spirit humanisme universal).

Mengenai satu asas kemanusiaan ini, Cak Nur mengacu pada suatu ayat yang berbunyi:

“Dan manusia itu dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidak karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu, pastilah telah diberi keputusan (di dunia) di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (Surat Yunus ayat 19)

Meski agak sama, namun jelas berbeda titik tolaknya antara kosmopolitanisme Gus Dur dan Cak Nur. Gus Dur mengambil paham Islam kosmopolitan dari unsur kebebasan dari petnjuk sejarah peradaban Islam. Sedangkan Cak Nur memandang kosmopolitanisme Islam berangkat dari terminologi Islam, yang juga berakar pula dari unsur ketuhanan ; dari wihdah al-Uluhiyyah menuju wihdah al-Insaniah.

Tapi itu hanya sependek pemahaman yang ditinjau dari genealoginya. Dalam praktiknya, tak ada perbedaan antara keduanya, yakni keduanya sama-sama mengandaikan wujud kebebasan dalam soal berdialektika dan berbudaya.

Dalam pandangan Cak nur, untuk membuktikan hubungan saling memengaruhi antara Islam dengan kebudayaan lain, ditilik dari adanya helenisme yang berhasil diislamisasikan, atau bahkan Islam yang justru dihelenisasikan. Cak Nur mengutip kalimat Simon Van den Berg dalam pengantarnya atas terjemahan pertama karya Ibnu Rusyd “Tahafut al-Tahafut” ke dalam bahasa Inggris. Simon menuliskan:

Mungkin bisa dikatakan bahwa santa maria (maria yang suci, siti maryam, ibunda nabi Isa al Masih) yang dibangun atau minerva (dewi kebijaksanaan romawi, sama dengan dewi Athena Yunani) adalah lambang budaya eropa kita. Tapi tidak dilupakan masjid pun dibangun di atas puing-puing kuil Yunani.

Menurut Cak Nur, dalam kalimat terakhir Simon yang seolah menandakan bahwa nilai-nilai budaya dan agama Islam berkembang sesuai dengan ajaran agama dan budaya Yunani sangatlah berlebihan. Namun bagi Cak Nur, hal itu ada sisi kebenarannya jika yang dimaksud adalah agama dalam pemaknaan historis pemikiran.

Secara spesifik yang dimaksud oleh Cak Nur adalah hubungan antara ilmu kalam dengan filsafat Yunani kuno. Dia berargumentasi bahwa kata ‘kalam’ sendiri adalah terjemahan dari bahasa yunani yang berarti ‘dialektika’, dan ‘mutakallimin’ adalah terjemahan dari ‘dialektis’ (namun pendapat Cak Nur di sini akan meleset jika ternyata ‘kalam’ dalam sejarah keilmuananya tidak diterjemahkan dari bahasa yunani, namun berangkat dari akar persoalan kaum mutakillimin mengenai ‘kalam’ tentang apakah al-Quran itu makhluk atau kalam tuhan, berarti sebagai satu sifat dari sifat-sifat tuhan). ( lihat: Nurcholish Madjid, Islam doktrin dan Peradaban )

Selain kebudayaan Yunani, juga terasa pengaruh yang kuat pula dari budaya Persia. Sebagai contoh, terbukti dinasti Umawiyah di Damaskus yang menggunakan sistem administratif dan birokratik Byzantium dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga dinasti Abbasiyah di Baghdad yang meminjam sistem Persia. Juga Al Ghozali yang menyebutkan dalam bukunya “ Nashihat al-Muluk” unsur-unsur persianisme, dan Nizham al-Mulk yang menulis buku berjudul “Siyasat Namah” yang juga banyak menggunakan bahan-bahan pemikiran Persia.

Demikianlah ulasan singkat mengenai konsep kosmopolitanisme Islam menurut Cak Nur, yang ternyata senafas dengan pemikiran Gus Dur. Tidaklah kebetulan jika terdapat kesamaan antara keduanya, karena mereka adalah dua tokoh besar dalam sejarah pemikiran dan keberagamaan bangsa kita. Masing-masing dari mereka adalah validasi bagi yang lain, karena kita tahu, Cak Nur dan Gus Dur memiliki visi dan misi yang sama, yakni menjadikan Islam sebagai agama kemajuan, pembebasan, dan kemanusiaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait