Sejak Revolusi Perancis, diskursus tentang kebebasan menjadi isu yang selalu menarik dan tak pernah basi untuk diperbincangkan. Gerakan-gerakan menuntut kebebasan kian masif digaungkan. Tak hanya dalam pembahasan akademik, perbincangan tentang kebebasan kini juga mewarnai jagad dialektika masyarakat awam dalam media sosial. Puncaknya, paham liberalisme lahir menjadi falsafah hidup menuju umat berkebebasan.
Paham ini telah menjamur dan terafirmasi secara tak sadar ke berbagai lini. Kapitalisme, misalnya, merupakan mode pengembangan paham liberalisme yang lebih spesifik dalam bidang ekonomi. Tak hanya sampai di situ. Tak dapat dielak bahwa paham liberalisme memberikan andil yang cukup besar akan maraknya gaya hidup hedonisme, khususnya dalam masyarakat urban
Seiring berjalannya waktu, di mana gerakan menuntut kebebasan kian marak, pemahaman tentang kebebasan semakin liar dan kebablasan. Bahkan otoritas sosial maupun budaya yang dianggap menghambat laju kebebasan berusaha dilesapkan. Dalam hal ini, agama sebagai entitas sosial-budaya, dianggap sebagai salah satu musuh utama.
Liberalisme dan kebebasan menjadi favorit. Paham ini beserta ragam modifikasinya dianggap sesuai dengan gaya hidup dan kebutuhan manusia modern. Namun, sejatinya anggapan seperti ini tidak lah tepat dan di sisi lain malah menjadi sebuah paradoks terhadap eksistensi kebebasan itu sendiri.
Alih-alih menuju kebebasan, masyarakat liberal justru terjebak dalam gaya hidup yang materialis. Memang mereka berusaha menghilangkan sendi-sendi agama yang dianggap menghambat kebebasan, sebab adanya tuntutan dalam beragama akibat penghambaan kepada Tuhan. Namun sejatinya, mereka tidak sepenuhnya terbebas dari ikatan penghambaan. Mereka hanya beralibi, dari menghamba kepada Tuhan beralih menghamba materi.
Antitesis menarik terhadap pemahaman di atas disampaikan oleh Dr. Muhammad Imarah dalam pengantar buku Hiwar Ma’a Shodiqi al-Mulhid karya Mustafa Mahmud. Ia mengungkapkan bahwa ubudiyyah merupakan puncak dari sebuah kebebasan.
Ubudiyyah secara etimologi memiliki makna pengabdian seorang hamba (budak) kepada tuannya. Istilah ini dikenal juga sebagai perbudakan. Kemudian bahasa ini dipergunakan dalam istilah agama dan diartikan sebagai penyerahan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Meskipun memiliki makna yang sama secara substansial, yakni tunduknya pihak satu terhadap pihak yang lain, namun esensinya amatlah berbeda.
Ubudiyyah dalam konsep Islam tidak dapat diartikan sebagai perbudakan. Sebab dalam konsepnya, seorang hamba justru memperoleh manfaat dari tuannya (red: Tuhan), Allah SWT. Hal ini berbanding terbalik dengan konsep ubudiyah secara horizontal (perbudakan) dimana seorang tuan memperoleh manfaat dari hambanya.
Cerminan kebebasan dalam ubudiyyah dapat ditelaah lebih jauh lagi melalui konsep ihsan. Seorang hamba menyembah Tuhannya tidak semata-mata karena menjalankan perintah agama sehingga seola-olah terbebani, melainkan ia telah mengenal keagungan dan kemuliaan Tuhannya.
Seseorang yang telah mengenal Tuhannya, bukan lagi menyembah karena takut akan siksa dan mengharapkan surga-Nya, melainkan karena cintanya yang tak tertahankan kepada-Nya. Maka dari sini begitu jelas perbedaan konsep perbudakan yang mengafirmasi pengabdian karena perintah, dengan pengabdian kepada Tuhan yang didasarkan cinta.
Sehingga QS. Al-Ahzab ayat 59 yang artinya, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembahku,” dapat dimaknai, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia agar Aku dapat menganugerahkan cinta, kebaikan, dan kehormatan kepada mereka.”
Maka ibadah atau beragama dalam makna yang lebih besar sekali-kali bukanlah bentuk apatis terhadap kebebasan. Penyerahan diri kepada Tuhan bukan pula sebuah kehinaan atau kerendahan. Sebaliknya, semakin tinggi kualitas ubudiyah seseorang, maka ia akan semakin mulia.
Sehingga ubudiyah sebagai puncak kebebasan yang hakiki, justru melepaskan manusia dari belenggu penghambaan kepada dunia. Dunia yang sifatnya sementara tidak layak untuk disembah apalagi dijadikan tujuan dalam hidup.