Jangan Ajari Tuhan!

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Kopiah.co – Seseorang bercerita kepada saya perihal bapaknya yang kini tak lagi salat. Bahkan “Tak lagi percaya kepada Al-Quran!” tuturnya. Saya terkejut, terlebih ketika mengetahui bahwa sang Bapak, sebagaimana perkataan teman saya, dahulu rajin solat tahajud. Lantas saya bertanya-tanya, apa yang menyebabkan ia berubah 180 derajat.

Saya menggarisbawahi sebuah momen yang disampaikan orang itu perihal bapaknya. Di sela-sela cerita, dikatakan bahwa sang Bapak telah dua kali gagal membina rumah tangga karena alasan ekonomi. Barangkali kegagalan tersebut adalah penyebab sang bapak frustasi dan perlahan-lahan sikap religius pada dirinya terkikis. Pengalaman pahit hidup sang bapak itu memberi kesan buruk padanya, mempengaruhi alam bawah sadarnya. Ia pun mengaku, kini tak jarang meninggalkan salat.

Kita semua pasti sepakat, bahwa posisi yang dialami sang bapak dalam cerita diatas memang bukan sesuatu yang mudah. Kita sebagai manusia biasa perlu berbaik sangka. Barangkali keadaan yang demikian adanya adalah proses menuju bahasa cinta yang sejati.

Saat menghadapi fenomena seperti di atas, kita tak perlu bersikap arogan. Apalagi sampai melaknat dan menyalah-nyalahkan. Sepatutnya kita memperbanyak muhasabah. Kemudian menjadikannya sebagai itibar dan mengambil pelajaran sebanyak-banyaknya.

Jika diamati, orang yang berada di posisi seperti itu sering kali bersikap arogan. Rasanya hendak menyerang segala hal, tak terkecuali Tuhan. Ungkapan seperti “Kalau Tuhan Maha Pengasih, kenapa hidupku jadi seperti ini” tak jarang timbul memenuhi segala pertanyaan yang ada di kepala.

Saya kira tidak sedikit orang yang menghadapi sebuah permasalahan sulit di hidupnya melemparkan pertanyaan bodoh seperti di atas, termasuk saya. Singkat cerita saya pernah mengeluh akan kemiskinan yang saya alami.

Kala itu, saya sedang asyik dalam menuntut ilmu. Menghabiskan waktu demi waktu hanya untuk belajar, ngaji, dan membaca. Seketika keraguan terlintas di dalam pikiran, mempertanyakan kondisi diri yang gila akan ilmu namun tak ada perubahan dalam diri. Kemiskinan masih menjadi momok dan beban materi akibat bertambahnya usia kian mencekik.

Hari-hari pertanyaan sedemikian memenuhi kepala. Pucaknya, kecintaan saya terhadap dunia keilmuan mulai sirna. Saya pun kemudian menyalahkan kenapa saya menjadi santri selama bertahun-tahun lamanya, hanya bergelut dengan ilmu dan ilmu saja. Uang yang menjadi sumber penghidupan malah terabaikan.

Lihat, begitulah pola pikirnya. Hanya karena tidak punya uang, semua yang ada di sekeliling saya menjadi bahan bulan-bulanan nafsu kebodohan.

Singkat cerita, pasca serangan terhadap identitas itu, rupanya kemauan saya itu dikabulkan Allah SWT. Yakni, tiba-tiba saja saya memiliki uang. Akan tetapi dalam waktu yang sama, kehidupan saya menjadi kering karena terpisah dari aktivitas keilmuan seperti muthala’ah dan menulis. Pada titik itu, saya sangat kesepian. Akhirnya saya sadar, ternyata lagi-lagi saya butuh belajar perihal apa sebenarnya yang saya butuhkan dalam hidup.

Rumusnya jelas. Semakin banyak manusia menciptakan standar-standar imajiner, semakin ia terbelenggu dan tercekik olehnya. Hal itu berdampak negatif dalam keleluasan makna ‘anugerah’ hidup yang sesungguhnya. Misal dengan menyatakan “Aku tak bahagia jika tidak….”, “Aku begitu bergantung dengan…”, “Orang berilmu harus kaya”, “Orang yang rajin tahajud atau dluha harus kaya” dan berbagai batasan egois yang lainnya.

Oleh sebab itu, dalam spirit Ahlussunah wal Jamaah, kita diajarkan bahwa muamalah antara hamba dengan Tuhan bukanlah urusan matematika. Kalau hamba telah berbuat demikian, maka Tuhan harus berbuat demikian. Aduh betapa kerdil dan sempitnya jika hubungan yang terjalin keduanya seperti demikian. Tidak. Yang tepat adalah hubungan kedekatan, penyerahan-penerimaan, kelemahan-kekuatan, ubudiah-rububiah, kekerdilan-kemahakuasaan.

Syekh Ibnu Atha’illah al-Sakandari berkata dalam kitabnya al-Hikam:

“Jangan engkau pahami bahwa permintaanmu adalah sebab daripada pemberian dari-Nya, sehingga itu menunjukkan sedikitnya pengetahuanmu tentang-Nya. Akan tetapi, hendaklah permohonanmu kepadanya itu murni sebagai bentuk reaksi penghambaanmu dan untuk memenuhi hak-hak Tuhanmu.”

Kalau kita amati seksama maka akan sampailah kita pada sebuah pokok paham ubudiah. Bahwa, belajar itu murni mencari rida Allah SWT, bukan mengarah pada target-target atau efek-efek empiris. Begitu pun ritual-ritual keagamaan yang lain. Butuh sebuah kesadaran, bahwa seorang hamba mengerjakan amaliah murni kebutuhan batin, atau dalam bahasa terminologisnya, ia perlu melakukan itu demi keberlangsungan eksistensialnya.

Adapun dalam urusan doa, seperti yang telah diterangkan oleh Ibnu Atha’illah di atas, tak lain adalah refleksi sifat pengakuan kita sebagai hamba belaka. Bagaimana mungkin, Allah SWT yang Maha Bijaksana dan Maha mengatur, mengerti, dan mencukupi segala keperluan alam semesta raya harus kita “ajari” terlebih dahulu perihal kepentingan kita yang seicrit itu. Tuhan itu tidak lalai dan tidak pula lupa sehingga perlu kita ingatkan terlebih dahulu. Maha Suci Allah SWT dari semua itu.

1 COMMENT

  1. Masya Allah, Tabarakallah atas semua cerita dan pengalamanya, memang secara umum materi mampu membuat seseorang pusing tujuh keliling dan memaki tiada henti jika tidak di landasi dengan ilmu pengetahuan tentang agama, dan disinilah pentingnya seseorang untuk selalu taat ketika zona pendiikan itu ada maka tetap harus belajar, nanti ketika turun kemasyarakat diharapkan dari pondok pesantren dan juga para santri mampu memasukan dirinya kedalam masyarakat dalam keadaan utuh karena ilmunya.

    Terlihat miskin memang iya, namun orang tua seberat apapun akan tetap ingin anaknya mencari atau menggali ilmu setinggi-tingginya pada masa pendidikan.

    Salam hormat
    Calon Santri

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait