Al-Quran sebagai Jalan Kebahagiaan

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Kopiah.co –Dari mana datangnya ketidakbahagiaan? Sebelum mempertanyakan itu, perlu juga diketahui  dahulu, apa itu ketidakbahagiaan. Bisakah ketidakbahagian terpahami melalui status jumlah, yakni sesuatu yang mengarah pada kurang atau lebihnya dalam ukuran tertentu.Lalu adakah batas tertentu yang bisa dijadikan sebagai penimbang kalau si A termasuk orang yang cukup, dan si B adalah bagian orang yang kekurangan.

Kalau memang demikian, perlu dicari tahu pula, sesuatu apakah yang bisa diukur melalui alat penimbang tersebut. Apakah itu materi, ataukah itu sesuatu yang lain, seperti wawasan, jabatan, pengalaman dan capaian-capaian tertentu.

Tapi pada umumnya, satu hal yang hampir disepakati kebanyakan orang adalah bahwasannya mereka harus mengejar uang. Hidup harus bekerja, hidup harus cari uang.

Mengapa demikian? Agar bisa memenuhi kebutuhan. Terus apa saja kebutuhan manusia, sehingga uang perlu dikejar untuk mengejar kebutuhannya tersebut. Baiklah, dari sini kita menjadi semakin jelas, bahwa pada dasarnya semua berasal dari apa yang dibutuhkan manusia. Lantas adakah kesamaan antara kebutuhan dengan keinginan. Hal ini perlu dipertegas lagi, karena semakin banyak yang dibutuhkan dan diinginkan, maka tuntutan untuk menuju kesana, yakni dengan memenuhi kapasitas uang menjadi semakin besar pula.

Kemudian, kita perlu menelusuri jejak kebutuhan kita selama ini. Benarkah apa yang kita butuhkan itu memang berhak, dan selayaknya kita butuhkan. Begitupun soal keinginan. Tidak salah pula jika kita mencurigai, atau katakanlah merevisi lagi status keinginan kita selama ini. Sudah benarkah ia, sudah tepatkah  ia untuk diinginkan. Dan adakah perihal kebutuhan dan keinginan yang kita miliki itu benar-benar mapan dan abosolut. Jangan-jangan kebutuhan dan keinginan yang kita junjung-junjung dalam kehidupan itu terikat, atau katakanlah tercipta dari pikiran dan kesadaran kita sendiri.

Mengapa semua itu perlu untuk kita renungkan lagi, selas sekali alasannya adalah karena itu semua adalah hal-hal yang mengisi ruang kehidupan kita. Bagi manusia yang konon ia adalah makhkuk terbaik yang pernah diciptakan oleh Alloh Swt, mengetahui eksistensi kehidupannya adalah hal penting. Sekurang-kurangnya bagi kita yang masih percaya pada nilai kebenaran dan keluhuran.

Tapi apakah kebutuhan dan keinginan manusia itu sama?

Rupanya ia berbeda sama sekali. Meskipun terdapat hal-hal mendasar yang disepakati sebagai kebutuhan hidup, tapi selain itu, jika dipresentasi terdapat beragam kebutuhan dan keinginan manusia. Dan lagi-lagi, keduanya itu berasal dari pikiran yang meruang dalam di lubuk kesadarannya.

Dari pola mekanik yang disebutkan barusan, kemudian orang-orang mengenal berbagai istilah seperti apa itu sukses, gagal, cukup dan tidaknya, bahagia dan tidaknya.

Lalu di hadapan mekanisme kehidupa itu bagaimana perannya al al quran? Atau pertanyaan lain adalah kenapa Alloh Swt perlu menurunkan kalam sucinya melalui utusannya itu?

 Ya, sebenarnya apa yang saya sebutkan diatas adalah upaya menggali lagi titik kesadaran kita, karena sejak berpuluh-puluh tahun kita mengaku sebagai seorang muslim yang mengimani al quran adalah kitab panduan dalam kebereksistensian, ternyata dalam praktiknya lebih mengesankan pola hidup kaum sekuler dan jauh dari keimanan.

Perihal kesuskesan dan tidaknya, ataupun kebahagiaan dan tidaknya, al quran telah memberi penjelasan yang sangat indah.  Dalam surat Yunus ayat 58, Alloh Swt berfirman:

” Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”

Dalam ayat ini tertulis kata ” falyafrohu”, yang secara kebahasaan diartikan sebagai makna kegembiaraan.  Kata ini berkonsekuensi pula pada turunan makna-makna lain seoerti berbahagia, bersuka cita, bersenang, bersyukur dan seterusnya.

Pada kata “bifadlillah” dan ” wa birohmatihi” juga tersimpat sebuah isyarat makna yang luas karena secara gramatikal bahasa arab, digunakannya huruf jer berupa ba’ (menyimpan faidah  lil isti’aanah, yang berarti “dengan melalui/menggunakan”) dalam menyambung kata “fadlulloh” dan ” rohmatih”.

Jadi dalam ayat ini tersimpan rumus yang jelas sekali bagi orang islam,  yakni perihal kehidupannya adalah mutlak ketergantungannya terhadap anugerah dan rahmat Alloh Swt.  Kemudian dipeejalas lagi dengan, ” Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”

Imam Baidlowi dalam karya tafsir monumentalnya yang berjudul ” anwar at-tanzil wa asror at-ta’wil” menafsirkan bahwa, maksud dari anugerah dan rahmat Alloh Swt dalam ayat tersebut adalah dengan diturunkannya Al Quran.

Rupanya, untuk mengetahui kandungan makna dari ayat ini, kita perlu mengaitkannya dengan ayat yang sebelumnya, yakni surat yunus ayat 57. Yaitu,  Alloh Swt berfirman:

” Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.”

Dari sinilah kita mengetahui akan pentingnya memahami Al Quran melalui perantara ulama. Jadi lagi-lagi, kita mendapat pemahaman, bahwa dalam ayat ini, makna kebahagiaan itu terikat dengan status pemberian Alloh Swt berupa anugerah dan rahmatnya, yang ternyata keduanya termanifestasikan dalam wujud al quran.  Artinya apa?  Alasan mengapa manusia diliputi kebahagiaan adalah tersebab wujud dari pada al quran itu sendiri, karena didalamnya tertuang empat komponen: “mauidzoh”, ” syifa” (obat), “hudlan” (petunjuk) dan ” rohmat” (kasih sayangnya).

Al quran diturunkan kepada manusia melalui Nabinya Saw sebagai menifesati dari empat hal ini.

Untuk memahami bagaiamana bentuk pelaksanaan empat hal tersebut, Imam Baidlowi memberi penjelasan yang sangat menarik. Yakni kesemuaan itu terpahami karena al quran adalah kitab yang menguraikan dua hikmah sekaligus: hikmah amaliah dan hikmah nadzoriah. 

Dengan hikmah amaliah,  manusia mengerti akan perilaku yang bagus sehingga dia terpantik untuk mengamalkannya, juga mana perilaku yang buruk sehingga perlu ia tinggalkan.    Kemudian dengan hikmah nadzoriah ( kebijaksanaan logis)  manusia bisa terbebas (sembuh)  dari rasa sakit berupa kerancuan-kernacuan,  serta dari buruknya prasangka, baik kepada hidup atau kepada tuhan secara langsung.

Pandangan akam hidup, atau bentuk pergerakan apapun yang terjadi di dunia,  pada umumnya tak terpisahkan dari bagaimana pandangan seseorang akan tuhan.  Disaat seseorang frustasi, yang meskipun awal mulanya berangkat pada ketidakpuasannya melihat relaita hidupnya,  seringikali berkaitan pula tentang pandangan dirinya akan tuhan, ” kenapa tuhan begini”, ” kok begini dan begini” dan seterusnya. Dari sini mengapa mempelajari agama menjadi penting, karena dengan mengetahui asma dan sifat-sifat Alloh Swt,  sama halnya mempelajari bagaimana mustinya memaknai dan menjalankan kehidupan.

Kalau boleh disimpulkan, apa yang disebut sebagai manusia itu sebenarnya tidak terlepas dari dua hal: pikiran dan tindakannya. Dan seperti yang dijelaskan oleh Imam Baidlowi di atas, bahwa al-Quran merangkum dua titik sentral yang menjadi pusat objek manusia itu, yaitu hikmah amaliah sebagai timbangan dari tindakan-tindakannya,  dan hikmah nadzoriah sebagai timbangan segala laju pemikirannya. Tersebab telah diturunkannya Al Quran yang merngkum keduanya itulah manusia berhak untuk berbahagai, bahkan dengan nada sangat jelas al quran menekankan, “Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” Sedahsyat apapun pikiran atau rencana-rencana dan hsaha pergerakan yang kita lakukan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait