Wanita Tunisia dan Indonesia

Artikel Populer

Ahmad Hashif Ulwan
Ahmad Hashif Ulwan
Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah

Kopiah.coBerbicara tentang emansipasi wanita di Tunisia, tidak bisa dilepaskan dari seorang Thahir Haddad. Imra’atuna Fi Syari’ah wal Mujtama’ adalah karya pertamanya dan satu-satunya yang ia dedikasikan untuk perempuan Tunisia. Buku ini pula yang banyak mempengaruhi keadaan sosial Tunisia, khususnya perempuan.

Thahir Haddad dalam bukunya menjelaskan keadaan perempuan Tunisia yang masih terbelenggu oleh adat istiadat pra-islam yang relaif menyudutkan peran perempuan. Menurutnya, perempuan adalah pondasi utama pengembangan keluarga yang nantinya akan membentuk masyarakat yang kuat, sehingga membuahkan bangsa yang berkualitas.

Dalam bukunya, Thahir Haddad menafsirkan ulang teks syariat dalam rangka mencapai relevansinya di era kontemporer ini. Ia melihat bahwa Islam adalah agama yang menyerukan umatnya pada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, dan menjelaskan kesalahpahaman umat dalam memahami ajaran islam dalam masalah ini. Ada beberapa masalah perempuan yang ia angkat dalam buku ini, seperti masalah perkawinan, perkawinan paksa, poligami, hak waris, perceraian, kekerasan terhadap perempuan, dan reformasi hukum kekeluargaan.

Walaupun gebrakan besar yang dilakukan oleh Thahir Haddad ini menuai banyak kritik khususnya dari kalangan ulama konservatif Zaytunah, namun pada akhirnya, Tunisia mengalami reformasi kondisi sosial yang pesat berkat pemikirannya. Beberapa gerakan feminis di Tunisia lahir dan mempengaruhi banyak elemen masyarakat di Tunisia, kebijakan pemerintah pun mendukung gerakan-gerakan ini sebagai bentuk upaya mewujudkan ketahanan keluarga yang dicanangkan Thahir Haddad.

Hampir serupa dengan apa yang dilakukan oleh Thahir Haddad, Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau kerap dikenal R. A. Kartini juga memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, khususnya di Indonesia yang masih sangat kental dengan adat-istiadat masyarakat, melalui surat-suratnya, Kartini berhasil mengimplementasikan harapan perempuan akan kebebasan yang pada saat itu terkungkung oleh tradisi.

Secara garis besar, pembaharuan yang dilakukan oleh R.A. Kartini ini terfokus pada bidang pendidikan secara khusus, berbeda dengan Thahir Haddad yang menyuarakan feminisme di bidang sosio-ekonomi.

Pada awal surat-surat yang ia tulis, Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terbelenggu oleh tradisi, dilarang sekolah, dipingit, hingga harus siap menikah dengan laki-laki yang tidak mereka kenal. Oleh karena itu, bagi Kartini, pendidikan mutlak diperlukan untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia.

Persis dengan apa yang dikatakan Thahir Haddad, Kartini juga mengatakan dalam “Habis Gelap, Terbitlah Terang” : “jika perempuan itu berpelajaran, lebih cakaplah dia mendidik anaknya dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya”.

Pada akhirnya, perjuangan Kartini di bumi Indonesia membuahkan hasil, mulai dari pembentukan sekolah bagi anak perempuan, kemudian pada tahun 1907, didirikan Sekolah Kartini di Batavia (Jakarta), dan pembentukan Yayasan Kartini di Den Haag, Belanda, yang menjadi cikal bakal terbentuknya  berbagai sekolah di Malang, Cirebon, Bogor, Surabaya, Semarang, dan Solo sebagaimana halnya di Batavia.

Bisa kita simpulkan bahwasanya perjuangan yang dilakukan oleh Thahir Haddad mendapatkan berbagai macam kritikan pedas dari ulama konservatif Tunisia, yang pada akhirnya mengganggu kesehatan mentalnya dan kemudian berdampak pada kesehatan fisiknya, Thahir Haddad meninggal di usia muda, yaitu 37 tahun dikarenakan penyakitnya yang kian menjadi.

Sedangkan Kartini mendapat berbagai macam perlawanan dari para pemangku kekuasaan yang telah nyaman dengan tatanan tradisi Nusantara kala itu. Ia meninggal dunia pada usianya yang masih muda pula, 25 Tahun, tak lama setelah melahirkan anak laki-lakinya bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904.

Perjuangan mereka berdua sama-sama menuai hasil yang memuaskan. Tunisia menjadi negara Arab satu-satunya yang berani mengambil kebijakan tegas tentang penghapusan poligami pada tahun 1956. Sedangkan Indonesia berkat kartini berhasil meningkatkan pendidikan perempuan berkat sekolah-sekolah yang ia bangun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Cerita dari Palestina : Berbaik Sangka kepada Imigrasi Paling Ketat, Allenby Border

Kopiah.Co — Berbaik sangka dalam menjalani apapun ternyata dapat menjadi perjalanan hidup kita menjadi ringan, termasuk saat singgah ke...

Artikel Terkait