Jejak Pembaharu Tunisia : Salim Bouhajib dan Seruan Modernisme Islam

Artikel Populer

Kopiah.Co — Peradaban Tunisia modern tidak bisa dilepaskan dari peran para pemikir dan cendekiawan Islam lulusan Universitas Zaitunah. Ibnu ‘Asyur, Khudar Hussein, Abdul Aziz Al-Tsa’alabi, Abul Qosim Chabbi, dan Thahir Hadad adalah nama-nama penting yang termasuk ke dalam pelopor reformasi itu, khususnya pada akhir abad ke-19 sampai abad ke-20, yang pada saat itu Tunisia sendiri sedang berada di bawah protektorat Perancis. Mereka — para pembaharu jebolan Zaitunah itu — telah memainkan peran penting dalam pembaruan pemikiran Islam agar Tunisia secara khusus, dan dunia Arab secara umum bisa keluar dari jebakan keterbelakangan.

Jika Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kemajuan suatu bangsa berkaitan dengan ilmu pengetahuan, begitu juga menurut Salim Bouhajib, pelopor pembaruan, reformis, dan pemikir progresif lulusan Zaitunah yang lahir pada tahun 1827 di Bembla, Monastir, Tunisia. Meskipun namanya tidak sementereng Ibnu ‘Asyur atau Tahir Hadad, tetapi Bouhajib merupakan salah satu generasi pertama yang menyalakan spirit api pembaruan pemikiran Islam di Tunisia, jauh sebelum ‘Asyur dan Hadad.

Salim Bouhajib adalah cendekiawan, sastrawan, dan mufti lulusan Zaitunah yang tidak hanya mengenyam pendidikan agama di Zaitunah, tetapi juga mengabdikan dirinya untuk mengajar di Zaitunah sampai akhir hayatnya (wafat tahun 1924). Saat itu, ia juga tidak hanya memberikan kuliah kepada para pelajar, tetapi juga kepada para pengajar dan para khatib Zaitunah. Salah satu muridnya yang juga menjadi ulama terkemuka dan mufti adalah Syeikh Ahmad Bayram (wafat tahun 1937).

Selain itu, istimewanya Salim Bouhajib juga hidup semasa dengan Khairuddin Pasha, atau dikenal juga dengan Khairuddin Al-Tunisi, politisi ulung di era kesultanan Utsmani. Disebut politisi ulung, karena Khairuddin berperan besar dalam pembangunan Tunisia modern dengan menduduki beberapa jabatan penting, di antaranya sebagai Menteri Agung dan Ketua Majlis Syura. Selama menjabat, Khairuddin pun banyak melakukan reformasi di berbagai bidang di antaranya, pendidikan, politik, dan ekonomi.

Kembali ke Salim Bouhajib. Karena dikenal dengan kecerdasan dan keuletannya, Salim Bouhajib ditunjuk sebagai tangan kanan Khairuddin Pasha pada saat Khairuddin dilantik menjadi Menteri Agung. Ia mendampingi Khairuddin pada berbagai momen penting, salah satunya ikut serta pada kunjungan kerja ke Istanbul, ke pusat kesultanan Utsmani. Tak hanya itu, konon Salim Bouhajib juga lah yang menjadi editor karya fenomenal Khairuddin yaitu, kitab Aqwam al-Masālik fī Ma’rifat Ahwāl al-Mamālik, sebuah buku yang sampai saat ini masih populer dan menjadi rujukan penting mengenai sejarah dan struktur sosio-politik.

Salim Bouhajib juga kerap disejajarkan dengan pembaharu Mesir modern, Muhammad Abduh karena pemikirannya yang sama-sama mewarnai semangat pembaruan pemikiran di dunia Islam. Bahkan, pada saat lawatan Abduh ke Tunisia, Salim Bouhajib berpidato yang membuat Abduh pun berdecak kagum kepadanya. Dalam buku Mawqif al-Zaituniyyun min al-Musta’mar al-Fironsi karya Salih Syati, ia menceritakan bahwa saat itu Abduh secara langsung menyampaikan kekagumannya kepada Bouhajib dengan mengatakan, “Inna Salim Bouhajib min al-ladhina yaftakhir bihim al-Islam” yang maknanya, “Salim Bouhajib adalah kebanggaan Islam (karena pemikiran pembaruannya)”.

Salim Bouhajib sadar betul bahwa di masanya, dunia berada di bawah dominasi Barat, yang ditandai dengan kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi. Ia juga mengakui bahwa Barat berada dalam puncak kegemilangan karena tersentuh oleh renaisans. Sebaliknya, Salim melihat kondisi umat Islam berada di titik kemunduran yang ditandai dengan kemandekan pemikiran, bahkan sebagian menutup diri dari kemajuan peradaban barat.

Menurut Salim, umat Islam harus mengakui kemajuan barat, bahkan harus mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat. Dikisahkan, ketika Salim mendampingi Khairuddin Pasha ke Istanbul, Salim ditanya, “Dalam kitab fikih yang mana Anda membaca tentang geografi?”. Salim pun menjawab dengan pertanyaan, “Dalam kitab fikih yang mana Anda membaca larangan untuk mempelajarinya?”. Dalam konteks ini, Salim Bouhajib ingin menegaskan bahwa mempelajari ilmu pengetahuan yang diciptakan Barat tidaklah bertentangan dengan Islam. Salim memberi isyarat bahwa justru Islam menganjurkan kaum muslim untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari mana pun ia berasal.

Seruan Salim Bouhajib terhadap reformasi pemikiran keagamaan dan pendidikan ini merupakan keresahannya atas kemunduran dan keterbelakangan kaum muslim. Menurut Salim, kaum muslim tidak perlu ragu mempelajari ilmu-ilmu dunia karena takut menodai keimanan dan keislaman. Padahal keyakinan terhadap agama dan ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang berbeda.

Salim Bouhajib juga terinspirasi dari Ibnu Khaldun, Bapak peradaban Tunisia yang dikenal juga sebagai sejarawan dan sosiolog Muslim terkemuka, dan menjadi inspirasi dunia Barat karena pemikiran dan karyanya. Dalam magnum opusnya, al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyerukan agar kaum muslim tidak melalaikan tugas belajar dan menguasai ilmu pengetahuan. Sebab itu, gagasan Salim Bouhajib di atas merupakan bagian dari menjaga dan menghidupkan kembali energi yang dibawa oleh Ibnu Khaldun mengenai peradaban (hadharah) ke dalam Tunisia modern.

Pemikiran dan seruan modernisme Salim Bouhajib itu juga dipengaruhi oleh pengalamannya ketika ia menetap di Italia selama lima bulan. Di sana, Salim mempelajari tentang peradaban Italia dan mencatat hasil pengamatannya mengenai modernisme. Setelah kembalinya ke Tunis, Salim pun menyerukan modernisme yang ia pelajarinya selama di Italia dengan menyarankan agar lembaga pendidikan Zaitunah mengenalkan dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan modern.

Meminjam istilah para Kyai Nahdlatul Ulama (NU), bahwa apa yang dilakukan Salim Bouhajib adalah, “ Al-Muhafadzah ‘ala-Qadim al-Salih wa al-Akhdzu bil Jadid al-Ashlah ” yang maknanya, “Menjaga tradisi yang bernilai baik dan terbuka dengan mengambil sesuatu yang baru, yang dinilai dapat bermanfaat”. Salim Bouhajib telah membangkitkan semangat pembaruan dengan prinsip “mengambil apa yang bermanfaat dari Barat, dan tetap memelihara tradisi baik yang sudah dijalankan”.

Energi dan semangat pembaruan Salim Bouhajib menjadi inspirasi bagi generasi sesudahnya. Saat ini, Zaitunah merupakan Universitas tertua di dunia yang memadukan antara tradisi dan modernitas. Sebagaimana gagasan Salim Bouhajib yang mendorong agar pendidikan Islam dapat merespons kemodernan. Karena ketika tradisi dan modernitas berjalan beriringan, kemajuan pun tidak lagi mustahil untuk didapatkan, dan kaum muslim bisa keluar dari jebakan keterbelakangan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait