Ilmu Kalam dan Klasifikasi Tradisi Kalam Menurut Ibnu ’Asyur

Artikel Populer

Ahmad Hashif Ulwan
Ahmad Hashif Ulwan
Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah

Kopiah.co – Pertikaian yang dicatat dalam khazanah kelimuan Islam, khususnya Ilmu Kalam memiliki corak unik dalam sejarah panjang perkembangannya. Kita tidak menafikkan masifnya perpecahan di dalam tubuh kaum muslim sejak awal kemunculan Ilmu Kalam.

Embrio Ilmu Kalam yang diawali dengan fitnah kubro memang menyajikan kepada kita suatu pertunjukan yang kurang mengenakkan. Tetapi sejatinya, umat Islam memiliki titik balik mengesankan yang merupakan dampak positif perpecahan kesatuan agama, sehingga berperan aktif dalam pembangunan peradaban Islam di kemudian hari.

Perang Shiffin (657 M) setidaknya memunculkan tiga sekte utama dalam tubuh kaum muslim. Syi’ah sebagai kaum pembela Ali bin Abi Thalib yang berpusat di Kufah, Pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan —yang berpusat di Damaskus, sebagai pusat pemerintahan Muawiyah kala menjabat sebagai gubernur pra perang Shiffin, dan pusat pemerintahan dinasti Umayyah pasca penyerahan kekhalifahan oleh Hasan bin ‘Ali tiga tahun pasca perang Shiffin meledak— , dan sekte terakhir yang muncul pasca perang Shiffin yaitu kaum Khawarij.

Sekte-sekte Islam politik ini berangsur-angsur mereda bersamaan dengan menguatnya dinasti Umayyah (661-750) di Jazirah Arab yang membentang hingga Persia, Afrika, dan sebagian Asia. Segala bentuk pemberontakan pada masa Umayyah berhasil diredakan, setidaknya ada tiga pemberontakan besar pada masa dinasti Umayyah: Pemberontakan Husain bin ‘Ali (680), Pemberontakan Mukhtar (685), dan Pemberontakan Abdullah bin Zubair (692).

Perselisihan umat muslim yang bercorak politis ini kemudian digantikan dengan berkembangnya pemikiran agama dalam khazanah keilmuan umat muslim selama berabad-abad, sehingga menjadikan Islam bukan hanya sebuah kekuatan politik, melainkan juga sebuah imperium intelektual yang maju. 

Periode ini ditandai dengan banyaknya pembebasan daerah-daerah non-muslim ke dalam pangkuan imperium Islam yang dinahkodai oleh dinasti Umayyah dan dilanjutkan dengan cemerlang oleh dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Dalam periode ini pula wawasan keilmuan umat muslim menjadi luas dan komprehensif berkat pergumulan umat Islam dengan tradisi-tradisi kelimuan bangsa non-muslim, khususnya filsafat Yunani yang berandil besar dalam proses penyuburan Ilmu Kalam.

Muhammad Thahir bin ‘Asyur, seorang ulama tersohor dari Tunisia mengklasifikasikan empat tradisi Ilmu Kalam dalam perkembangannya :

Pertama, Tradisi Ilmu Kalam yang menolak mutlak penggunaan akal dalam menetapkan hukum dan berpegang teguh dengan eksoteris wahyu agama yang dianut oleh mayoritas kaum Salaf: Malikiyyah, atau penganut mazhab Malik bin Anas (711-795), Hanabilah, atau penganut mazhab Ahmad bin Hanbal (780-855), Zhahiriyah, sekte yang dibawa oleh Dawud bin Khalaf (883), mazhab ini mengimani secara harfiah ayat-ayat Al-Quran dan Hadits sebagai satu-satunya sumber hukum Islam. Keyakinan mazhab ini menolak adanya permisalan (Qiyas, pemikiran individu (Ijtihad) , dan konsesus (Ijma’) sebagai bagian dari sumber hukum. Dalam bidang akidah, keyakinan mazhab ini hanya menyifati Tuhan menurut apa yang tertulis tegas dalam Al-Qur-an dan menolak dengan keras praktik antropomorfisme (Tasybih).,Khawarij, suatu sekte pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian keluar dan meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin dengan kelompok Muawiyah perihal persengketaan khalifah, Jabariyah, sekte Kalam yang dibawa oleh Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shofwan, sekte ini memandang bahwasanya manusia hanyalah wayang di dunia ini dan Tuhanlah yang menggerakkan dunia dan seisinya, Murji’ah, sekte yang berpendapat bahwa orang Islam pelaku dosa besar tetap diakui keimanannya dan tidak dikatakan kafir. Menurut mereka, yang menentukan beriman atau tidaknya seseorang adalah keyakinannya, bukan perbuatannya.

Kedua, Tradisi Kalam yang menegasikan teks syari’at sepenuhnya dan memberikan otoritas hukum kepada akal. Dengan tidak menjadikan teks agama sebagai rujukan, maka Ibnu ‘Asyur menilai golongan ini sebagai kaum ateis.

Ketiga, Tradisi Kalam yang menginterpretasikan teks agama guna menyelaraskannya dengan filsafat (akal), diantaranya adalah para filsuf muslim seperti Ibnu Sina (980-1037), Ibnu Thufail al-Andalus (1105–1185), mayoritas Sufi, dan kelompok Ikhwan As-Shafa , yaitu sebuah perkumpulan rahasia para intelek muslim yang muncul pada awal abad ke-delapan masehi, kelompok ini dipercaya berada di daerah Basrah, Irak. Namun, muncul pendapat lain yang mengatakan kelompok rahasia ini berdiri di Bosra, Suriah. Karya pemikiran Ikhwan as-Shafa, yakni Rasa’il, sangat berpengaruh bagi gerakan filsafat dan etika Islam sepanjang abad pertengahan. Terdapat sebanyak 52 risalah yang terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama, berupa 14 risalah matematis mengenai angka. Bagian kedua, mengangkat aspek fisik materil sebanyak 17 risalah. Bagian ketiga, terdapat 10 risalah yang berisi tema prinsip intelektual. dan bagian terakhir menjelaskan cara mendekatkan diri kepada Tuhan.

Keempat, Tradisi Kalam yang berusaha menginterpretasikan akal sehingga sejalan dengan teks agama, diantaranya adalah: Asy-‘ariyah, mazhab teologi Asy’ari yang dibisbatkan kepada Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-936), Maturidiyah, mazhab teologi yang dinisbatkan kepada pencetusnya, Abu Mansur al-Maturidi (944), Mu’tazilah, mazhab yang didirikan oleh Washil bin ‘Atha (700-748), Syi’ah, kelompok pembela Ali bin Abi Thalib yang seiring berjalannya waktu mengembangkan tradisi keilmuan Islam.

Dengan adanya empat tradisi Kalam yang berkembang progresif dalam tubuh umat muslim, perpecahan bercorak politik yang berujung pertumpahan darah digantikan dengan diskursus-diskursus agama yang memperkaya khazahan keilmuan Islam, khususnya Ilmu Kalam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila”, Nata Sutisna, Aktivis Muda...

Artikel Terkait