Merajut Kesadaran Ekologi

Artikel Populer

Syadila Rizqy Al Anhar
Syadila Rizqy Al Anhar
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo | Sekretaris Umum Tanfidziyah PCINU Mesir 2022-2023

Kopiah.co Usia bumi semakin renta. Ragam usaha manusia dalam merawat bumi belum sebanding dengan aktivitas destruktif manusia lainnya terhadap bumi. Era post-industri menampilkan wajah hubungan manusia dengan alam yang cukup ironis.

Pandangan manusia terhadap alam cenderung bergerak ke arah tiranis (despotic view). Manusia tidak lagi memandang alam sebagai entitas krusial bagi keberlangsungannya, melainkan sebagai lahan empuk yang hanya untuk dieksploitasi demi memuaskan kepentingannya. Adalah paradigma manusia masa kini yang menempatkan alam sebagai seonggok komoditas. Alam dan pepohonan sebagai penyuplai oksigen, ide-inspirasi, dan wadah kontemplasi tak lagi dihargai sebagaimana mestinya.

Menurut riset WALHI, sudah mencapai 159 juta hektar lahan hutan terkavling izin industri ekstraktif. Yang artinya, hutan-hutan tersebut akan segera dialihfungsikan. Aktivitas tersebut dapat membidani lahirnya perubahan iklim yang semakin ekstrim. Sebab jika hutan tak lagi berfungsi optimal, lonjakan emisi karbon akan semakin meningkat dari permukaan bumi yang pada gilirannya menyebabkan krisis-krisis ekologi. Ibarat menyemprotkan racun di rumah sendiri.

Apabila suguhan data dan realitas pahit bumi hari ini dicermati secara seksama, setiap kita akan gemetar membayangkan resiko berbahaya yang akan terjadi di masa depan. Ditambah dengan kerentaan bumi yang lambat laun semakin menujukkan titik degradasinya, yang dapat berdampak pada kondisi alam dan semua perkembangan organisme di dalamnya.

Berangkat dari kenyataan yang sungguh memilukan dan mengkhawatirkan itu, manusia sebagai organisme dominan dan sempurna dalam tataran ekologi, sudah seharusnya menaruh cinta dan pusat perhatiannya untuk peduli pada bumi.

Revitalisasi Kearifan Ekologi

Indonesia merupakan negara yang kaya akan identitas, suku, tradisi, dan budaya. Kemajemukan tersebut telah memproduksi banyak aneka mitos, legenda, dan kearifan lokal. Terutama yang berhubungan dengan aspek ekologi atau lingkungan.

Masyarakat Sunda tradisonal menganut sistem ekonomi yang kental dengan nilai dan norma sosial-budaya. Bagi mereka, bercocok tanam bukanlah untuk mendapatkan keuntungan di pasar, melainkan perihal kewajiban kosmis. Selain itu, pada masyarakat perdesaan, otoritas adat melarang anggota masyarakatnya untuk menebang hutan di sekitar sumber air karena diamini bahwa tempat tersebut adalah tempat tinggal makhluk halus. Meski kental dengan mistisismenya, larangan tersebut berhasil menjadi mekanisme untuk mengendalikan perilaku manusia terhadap alam.

Kearifan ekologi yang tersimpan secara turun-temurun itu tidak pantas dipandang sebelah mata. Justru, perlu dianalisa secara mendalam oleh para pakar untuk mengetahui landasan rasional dan praktis dari kepercayaan non-ilmiah tersebut. Mengenai hal ini, saya kira bisa ditarik benang merah antara kearifan lokal tersebut dengan gagasan ekosentrisme Val Plumwood yang berangkat melalui pendekatan ekologi dalam (deep ecology). Dimana manusia, alam, dan semua lanskap geografi memiliki nilai dan relasi yang sama.

Dua model kearifan tadi, setidaknya adalah premis menarik tentang upaya masyarakat tradisional dan perdesaan dalam menjalin hubungan dengan alam. Mereka bersikap kreatif dan etis terhadap alam (baca: manusia selalu bergantung pada alam). Sayangnya, kearifan-kearifan tersebut sudah mulai meredup saat ini. Manusia mulai kehilangan cara pandang pengelolaan terhadap alam yang bertanggung jawab (responsible dominion view).

Tentunya, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut. Di antaranya; pandangan terlampau optimistis pada keberlangsungan hidup manusia yang muncul seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi. Pandangan tersebut secara nyata mampu memalingkan pandangan manusia dari alam fisik. Sebut saja model pertanian ala kapitalis, dengan kecanggihan teknologi yang mutakhir, manusia berhasil menciptakan produksi pertanian yang terlepas dari musim.

Di satu sisi, hal tersebut memang keniscayaan atau bahkan keharusan dari langkah inovatif pada dewasa ini. Di lain sisi, kebudayaan berbasis teknologi tersebut menjadikan manusia memandang alam hanya sebagai entitas tanpa nilai dan turut menanam bibit-bibit superioritas pada benak manusia atas alam.

Berkaca pada rangkaian ulasan di atas, setidaknya kita bisa menyebut bahwa kerusakan alam dan krisis ekologi masih dipicu oleh dua hal.

Pertama, paradigma antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat kehidupan dan inti dari universalitas. Manusia sebagai organisme yang memiliki nilai. Sementara makhluk selain manusia tak ubahnya sebagai instrumen pemuas kepentingan manusia. Tak heran jika pandangan ini melainkan cara pandang yang hedonis, materialis, konsumeris, dan tiranis terhadap alam.

Kedua, memudarnya kesalehan manusia terhadap alam (paradigma spiritual-kosmologis). Di sini, nilai-nilai luhur agama tidak lagi diindahkan. Kesadaran ekologis pada benak manusia tertutup rapat oleh sekat antroposentrisme. Manusia luput dari titah Tuhan atau justru mengabaikan perannya sebagai penjaga dan pelindung terhadap alam raya.

Untuk membangkitkan kesalehan dan kesadaran yang dimaksud tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap kita perlu membangun kebiasaan baru yang mengarah pada habitus ekologis.

Urgensi Literasi Ekologi

Pokok pikiran terkait manusia sebagai organisme yang paling berpotensi mengatur dan menjaga ekologi perlu dipahami secara bijak. Kesadaran terhadap nilai tersebut mesti dihidupkan melalui edukasi sejak dini. Selama ini, pengajaran perihal lingkungan hidup terbilang belum cukup optimal lantaran hanya berkutat pada tataran teoritis. Namun masih alpa dari pembelajaran secara praktis.

Kealpaan tersebut menuntut para pemangku pendidikan untuk tidak memosisikan disiplin ilmu lingkungan hidup sebagai pengetahuan sampingan atau tambahan. Perlu ada semacam penekanan serius kepada para siswa mengenai pelestarian lingkungan. Ketidakpedulian setiap kita dalam hal ini akan menimbulkan kejahatan demi kejahatan ekologis yang muncul seiring dengan tumbuhnya siswa-siswa kita yang gagap akan nilai-nilai ekologi-humanis.

Tak terkecuali kalangan pesantren. Sebagai suatu entitas yang mendalami ilmu-ilmu agama seyogianya mampu menerjemahkan nilai-nilai ekologi -yang terkandung dalam literatur keislaman- secara konkret dalam kehidupan kita. Hal tersebut sangat perlu diupayakan agar ajaran-ajaran Islam yang bersifat universal (syumuliy) benar-benar dapat dirasakan dan bermanfaat bagi kehidupan.

Bukankah kita sering mengatakan ‘Ber-Tanah Air satu, Tanah Air Indonesia?’ Secara implisit, kalimat itu tidak boleh ditafsiri secara dangkal hanya untuk meneladani spirit menjaga persatuan bangsa atau mengenang jasa pahlawan kemerdekaan, akan tetapi muatan kalimat tersebut pun menjurus pada kesiapan mental kita untuk memastikan alam raya Indonesia terbebas dari ancaman kerusakan. Adagium tersebut secara implisit juga mengandung nilai-nilai ekosentrisme yang mesti kita gali dan wujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan strategis.

Jika kesadaran ekologi telah dipupuk sejak dini secara komprehensif, maka sah-sah saja kita berharap akan lahir manusia-manusia masa depan yang kelak memainkan perannya dalam mengembalikan keadilan dan perdamaian antara manusia dengan alam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait