Bijak Menyikapi Gaduh dan Kebisingan Klaim Takfiri

Artikel Populer

Ahmad Khotibul Umam
Ahmad Khotibul Umam
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir

Kopiah – Realitas kehidupan sosial di Indonesia dalam aspek keberagamaan selalu hangat diperbincangkan. Salah satunya terkait polemik dan isu yang dari dulu hingga sekarang seakan menjadi keresahan masyarakat, khususnya bagi mayoritas umat Islam Indonesia.

Isu tersebut memiliki dampak yang nyata dan jelas bisa kita rasakan bersama. Persoalan saling menyalahkan, menghakimi, bahkan perpecahan antar individu ataupun kelompok merupakan problematika yang terus-menerus terjadi.

Hal tersebut disebabkan oleh kelompok yang bisa dibilang meresahkan bagi kalangan Ahlusunah wal jamaah. Kita dapat memahami langsung ciri khas dari kelompok yang cenderung berpaham eksklusif tersebut berupa unsur doktrin takfiri didalamnya.

Kelompok takfiri ini dengan gampang menyebut orang lain yang berbeda dengan sebutan “kafir”. Sekalipun orang yang dianggap “kafir” oleh golongan ini masih berstatus sebagai muslim. Klaim mereka tak lain disebabkan lantaran hanya perbedaan sudut pandang.

Sejenak kita berpikir, bagaimana seseorang bisa disebut “kafir” padahal yang bersangkutan merupakan sosok muslim. Apalagi ia masih menjalani ibadah dan ritual keagamaan. Dalam hal ini, ulama sangat serius menyikapi fenomena tersebut.

Para ulama telah mengkritisi pemikiran dari kelompok takfiri ini. Alhasil, pemikiran mereka benar-benar menyimpang dari ajaran Islam yang sejatinya mengajarkan kasih saying antar sesame umat beragama.

Terkait masalah takfiri, Imam al-Ghazali secara ringkas dan lugas menyebutkan dalam kitab Faishal at-Tafriqah bayna al-Islâm wa az-Zandaqah tentang status seseorang dianggap kafir.

Beliau mengungkapkan seseorang dapat menjadi kafir ketika dia mendustakan Nabi Muhammad SAW. Kemudian, apabila seseorang mengingkari (secara terang-terangan) risalah yang dibawa oleh Rasul.

Dengan demikian, sesuai dengan ungkapan Imam al-Ghazali, kita tidak bisa dengan mudah memvonis seorang muslim dengan sebutan kafir. Kecuali, muslim tersebut mendustakan kenabian Rasulullah SAW secara terang-terangan.

Apalagi hanya berdasarkan perbedaan pandangan lantas dengan mudah mengkafirkan orang lain, hal ini tentu sangat tidak dapat dibenarkan.

Persoalan takfiri juga sudah cukup jelas disebutkan di dalam hadis Nabi. Nabi Muhammad SAW melarang umatnya untuk saling melempar klaim kekafiran. Beliau bersabda, “Ketika seseorang berkata kepada saudaranya ‘hai kafir’, maka kekafiran tersebut kembali di antara keduanya.

Berdasarkan hadis ini dapat disimpulkan, jika terdapat seseorang mengkafirkan orang lain, sedangkan orang yang diklaim kafir tersebut sudah jelas muslim, maka ungkapan kafir tersebut kembali kepada orang yang pertama (pelaku takfiri).

Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, sosok muhaddis dan pembesar ulama Hijaz ini memberikan nasihat serta peringatan terhadap kelompok yang gemar mengkafirkan orang lain.

Di dalam kitab Mafâhîm yajibu an tushahiha, Sayyid Alawi mengutip perkataan Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, bahwasanya disebutkan, “Mereka (para ulama) sepakat untuk tidak mengkafirkan seseorang yang masih termasuk bagian dari ahli kiblat (orang yang mengucap dua kalimat syahadat).”

Lalu, Sayyid Alawi melanjutkan dengan penjelasan tentang batasan orang yang dianggap telah kafir. Kembali beliau mengutip pernyataan Imam al-Hadad, “Sesorang dianggap kafir ketika dia mengingkari takdir yang telah ditetapkan oleh Allah, atau menyekutukan-Nya; mengingkari kenabian, mengingkari ilmu-ilmu agama yang primer, seperti ilmu tauhid, kenabian, terutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul, hari pembangkitan, surga dan neraka; serta mengingkari (kebenaran) al-Quran dan sunah.”

Dari ulasan singkat di atas, sudah semestinya kita tidak mudah untuk mengkafirkan saudara-saudara kita yang seiman. Bahkan, jangan sampai kita ikut serta mengklaim kafir terhadap individu atau kelompok tertentu yang berbeda keyakinan.

Tujuannya tentu agar tidak terjadi suatu perpecahan antar sesama anak bangsa. Kita pun harus bijak dalam menyikapi kelompok yang masih gemar mengkafirkan sesama muslim. Caranya melalui nasihat-nasihat yang lemah lembut dan santun, sebagaimana diajarkan oleh teladan utama kita, Nabi Muhammad SAW. Tabik!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait