Pakaian dan Mitos Keberagamaan (1)

Artikel Populer

Dahulu, manusia menggunakan pakaian hanya sebagai alat perlindungan diri dari gangguan di luar tubuhnya. Baik gangguan tersebut berupa sengatan udara maupun hewan liar yang tak diinginkan. Di samping itu, pakaian juga digunakan untuk menjaga apa yang dianggap tidak pantas jika dilihat oleh manusia lain. Hal ini senada dengan apa yang telah disampaikan Al-Quran sebagaimana terpatri dalam Q.S. Al-A’raf yang berbunyi:

يٰبَنِىۡۤ اٰدَمَ قَدۡ اَنۡزَلۡنَا عَلَيۡكُمۡ لِبَاسًا يُّوَارِىۡ سَوۡاٰتِكُمۡ وَرِيۡشًا ؕ وَلِبَاسُ التَّقۡوٰى ۙ ذٰ لِكَ خَيۡرٌ ؕ ذٰ لِكَ مِنۡ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمۡ يَذَّكَّرُوۡنَ‏ ٢٦

Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah agar mereka senantiasa mengingatnya.(Q.S. Al-A’raf: 26)

Dengan semakin berkembangnya manusia, pakaian tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat pelindung. Pakaian telah bertransformasi sebagai bagian dari budaya yang membentuk sebuah identitas. Orang-orang India menggunakan sari sehingga ia dianggap sebagai pakaian khas dan menjadi identitas masyarakat India. Sementara batik dan kebaya adalah identitas yang tak bisa dilepaskan dari bangsa Indonesia.

Di samping budaya, faktor penting lain yang membentuk identitas suatu kelomok masyarakat adalah agama. Agama memainkan peran penting dalam pembentukan identitas, terlebih agama menyentuh lokus terdalam kedirian seseorang berupa keyakinan. Pada persoalan inilah kemudian terjadi tumpang tindih antara agama dan budaya sebagai faktor pembentuk identitas.

Di sisi lain, jika kita merujuk kepada ajaran Islam, terdapat pertanyaan yang bisa kita lontarkan terkait interferensi kedua faktor ini, yakni: apakah datangnya Islam lantas membentuk identitas yang menjadi huwiyyah (ciri khas) pemeluknya? Jika iya, lantas apakah Islam memerintahkan para pemeluknya untuk mempertahankan identitas keislaman tersebut? Sejauh mana identitas tersebut inheren dengan Islam dan harus terus dipertahankan? Terakhir, apa saja bentuk identitas tersebut?

Himpunan pertanyaan di atas sejatinya amat sulit dijawab. Islam datang tidak dari ruang kosong, melainkan turun di tanah Arab yang sudah memiliki adat, istiadat, dan budayanya tersendiri. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam pun diterjemahkan dalam bahasa Arab yang tak lain merupakan produk budaya bangsa Arab kala itu. Nabi Muhammad SAW adalah orang Arab begitu pula para pengikutnya. Orang-orang yang memusuhi mereka adalah orang-orang yang juga berbicara dengan bahasa Arab. Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya pun memakai pakaian yang juga dikenakan oleh orang-orang Jahiliyah. Maka, untuk mencari identitas Islam (jika ada), terlebih dahulu kita perlu melepaskan identitas Arab yang melekat seiring menyebar dan turunnya Islam di Jazirah.

Mari kita ambil contoh berupa serban. Kain yang dijulurkan atau dibubutkan di atas kepala ini dipandang sebagai pakaian khas umat muslim. Ketika kita melihat seseorang menggunakannya maka sepintas kita akan berkata bahwa dia adalah orang muslim. Di Indonesia sendiri, serban biasanya digunakan oleh tokoh agama yang dipandang kapabel. Namun kita pun tidak mengelak jika dikatakan bahwa serban merupakan pakaian tradisional Arab yang bahkan sudah digunakan sebelum Islam turun.

Nah, meninjau persoalan serban di atas, maka terdapat pertanyaan lanjutan yang bisa kita utarakan. Apakah serban merupakan identitas Islam atau katakanlah identitas keislaman seseorang? Pertanyaan yang sama bisa diterapkan pada persoalan lain yang dianggap sebagai ciri khas Islam. Contoh lain ialah hilal (bulan sabit) yang sejak ratusan tahun digunakan sebagai lambang Islam karena dijadikan lambang kesultanan oleh Turki Usmani. Meskipun sudah runtuh, hingga kini hilal masih dijadikan ornamen pada pucuk kubah masjid-masjid. Masih banyak contoh lain tidak hanya berupa benda, namun juga warna, ucapan, tingkah laku, pakaian, makanan, dan materi fisik lain yang kita bisa temui dalam kehidupan kita.

Dalam semiotika atau semiologi, kesemua nomina di atas disebut sebagai tanda. Agar tidak berkelit, bisa juga kita menggunakan bahasa yang lebih mudah dan memahamkan yakni simbol.[1] Simbol merupakan representasi dari sebuah makna tertentu yang lahir dari sebuah kesepakatan. Semisal kubah dan hilal yang menandakan sebuah rumah ibadah umat Muslim. Tanpa perlu bertanya apakah di dalamnya digunakan untuk salat atau tidak, sepintas kita akan berpikir demikian. Sama halnya dengan contoh lain di atas. Sementara kesepakatan dalam penggunaan simbol ini bisa saja lahir secara kultural dan organik.

Simbol yang dicontohkan di atas, juga simbol lain yang banyak jumlahnya tidak bisa dikatakan secara penuh sudah mewakili Islam pada hakikatnya. Simbol-simbol itu tak lain mucul berkat perjalanan sejarah. Andaikata Turki Usmani menggunakan buah kurma sebagai lambang kesultanan, bukan tidak mungkin pucuk kubah-kubah masjid akan dihiasi dengan ornamen kurma, terlepas dari latar belakang yang meliputinya.

Sejujurnya saya sedang tidak menafikan peran simbol dalam menunjukkan identitas suatu kelompok. Simbol adalah keniscayaan, sebab harus diakui bahwa manusia senantiasa hidup dalam lautan simbol-simbol. Begitulah kira-kira apa yang disampaikan oleh Barthes dengan ungkapan yang lebih sederhana.

Saya juga tidak hendak menafikan peran simbol dalam agama. Kubah dan bulan sabit penting sebagai tanda rumah ibadah umat muslim. Kita yang berada di perjalanan dan belum melaksanakan salat, dapat terbantu dengan adanya kubah yang menjunjung tinggi ke langit sehingga kita bisa melihatnya meskipun berada pada jarak ratusan meter jauhnya.

Bagaimanapun simbol berperan dalam memberikan sebuah makna, namun tidak serta merta ia dapat dijadikan sebagai alasan utama menjustifikasi identitas seseorang. Pun dalam beragama, simbol tidak serta menjadi alat ukur tingkat kesalehan atau keberagamaan seseorang. Sebab pada hakikatnya, akan selalu ada jurang pemisah antara simbol, makna, dan objek yang disimbolkan. Terlebih jika objek tersebut adalah keimanan yang bersifat imateri dan privat. Dengan demikian, akan selalu ada dua-tiga hingga ribuan atau bahkan tak terhitung makna yang bisa hadir.

Penjelasan di atas dapat kita aplikasikan pada penggunaan serban misalnya. Banyak kita temui orang-orang tak berserban lebih pintar dan saleh ketimbang yang mengenakan serban. Di Mesir bahkan saya pernah menjumpai seorang Nasrani di gereja yang sedang mengikuti sebuah acara dan orang tua tersebut mengenakan serban yang dibubutkan di atas kepalanya.

Dalam beberapa kesempatan, saya kerap menjumpai pria Mesir yang tidak dipandang sebagai seorang ahli agama ataupun orang saleh mengenakan jubah dan serban. Terkadang bahkan saya menjumpai tunawisma, tunakarya, dan orang tak berpendidikan justru berpenampilan demikian. Sementara orang kaya dan berpendidikan menggunakan setelan jas. Lantas apakah orang yang memakai jas berarti berpendidikan sementara orang yang berserban sebaliknya? Tidak juga. Maka sejatinya serban tidak berkaitan dengan tingkat intelektualis maupun keberagamaan seseorang.

Ironisnya, persoalan simbolis inilah yang kerap kali menjadi problem dalam agama. Umat Islam tak henti-hentinya mengerahkan tenaga untuk memperdebatkan persoalan simbolis. Padahal hakikatnya, simbol bukanlah substansi dari ajaran agama itu sendiri. Ia hanyalah apa yang tampak secara kasatmata, sedangkan ajaran agama jauh melampaui itu karena berkaitan dengan hubungan vertikal dengan Allah SWT.

Klik tautan di bawah untuk melanjutkan pembahasan

Pakaian dan Mitos Keberagamaan (2)


[1] Tanda dan simbol, sebagaimana diungkapkan Charles Pierce tokoh semiotika kenamaan asal Amerika, sejatinya adalah dua hal yang berbeda. Menurutnya, tanda merupakan sesuatu yang tampak, memberikan sebuah makna, dan mampu berkorespondensi dengan sebuah objek. Sementara simbol merupakan tanda yang didasari kesepakatan. Dapat kita pahami dari definisi di atas bahwa simbol merupakan salah satu klasifikasi tanda. Berdasarkan teori triadic sign yang dicetuskannya, tanda terbagi menjadi tiga, yakni ikon, indeks, dan simbol.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait