Pakaian dan Mitos Keberagamaan (2)

Artikel Populer

Dalam riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW mengatakan:

إنَّ الله لا ينْظُرُ إِلى أجْسَامِكُمْ، ولا إِلى صُوَرِكمْ، وَلَكن ينْظُرُ إلى قُلُوبِكمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak memandang fisik dan rupa kalian, tetapi memandang hati dan amal perbuatan kalian.

Dalam ungkapan yang lebih populer, disebutkan dalam bahasa Inggris: Don’t judge a book by it’s cover. Jangan menilai sebuah buku dari covernya. Apa yang nampak secara kasatmata memang terkadang mewakili isinya, namun sekali-kali hal itu tidak berlaku mutlak. Jangan sampai penilaian indrawi menutup mata kita akan hadirnya makna-makna lain yang tidak terwakili dengan simbol yang kita lihat, sebab barangkali direpresentasikan oleh simbol yang lain.

Melalui uraian di atas, mari kita petakan kembali skema kerja simbol dalam pembentukan identitas umat beragama agar kita mampu membedah simbol murni Islam. Pada tulisan ini mari kita gunakan pakaian dan penampilan sebagai contoh sebagaimana berkaitan dengan judul di atas.

Pakaian merupakan simbol yang mencerminkan budaya suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain, pakaian bisa menjadi representasi identitas suatu kelompok. Serban adalah pakaian orang Arab yang digunakan tidak hanya oleh umat Islam, namun juga kaum musyrik Arab. Maka sejatinya pakaian ini tidaklah bisa diinterpretasikan sebagai simbol atau bahkan identitas muslim dan Islam. Mengapa demikian? Sebab identitas setidaknya adalah apa yang membedakan satu kelompok dari kelompok yang lain. Sedangkan serban tidak demikian.

Lantas untuk mencari identitas Islam yang sejati, secara teoretis mudah, namun penerapannya amatlah sulit. Dikatakan mudah, sebab yang perlu dilakukan mencari apa saja perkara yang dibawa hanya oleh Islam yang mana itu tercermin melalui ajarannya. Kemudian memisahkannya dengan apa yang sudah ada dan diterapkan oleh orang-orang Jahiliyah. Namun, kita akan terus kesulitan menjalani proses ini karena Islam hadir pun meruang dan mewaktu bersama Arab Jahiliyah kala itu. Di samping itu, tumbukan dua budaya ini seiring waktu mengaburkan garis demarkasi kedua identitas itu sendiri, terlebih fanatisme Arab terhadap Islam yang begitu tinggi semakin mepersulit proses ekstrasi identitas ini.

Hal paling sederhana yang bisa dilakukan untuk mengidentifikasi hakikat Islam adalah dengan merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW ditanya oleh Jibril tentang Islam. Lantas beliau menjawab bahwa Islam ialah syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Jawaban inilah yang kemudian kita kenal sebagai rukun Islam. Melalui hadits ini pula kita sadar bahwa puncak keberislaman seseorang adalah syahadat.

Jika kita kaji kembali menggunakan prinsip semiotika, pada hakikatnya syahadat pun bukanlah Islam itu sendiri. Syahadat hanyalah simbol, sebab ia sekadar rangkaian ucapan ikrar. Sedangkan menjadi muslim itu sendiri tak cukup melibatkan satu-dua anggota badan, menlainkan seluruh jiwa dan raga. Namun yang perlu kita cermati ialah bahwa simbol inilah perkara yang paling membedakan Islam di antara agama dan kelompok pembentuk identitas lainnya.

Jika demikian, lantas apakah syahadat atau setidaknya lima perkara di atas saja yang merupakan simbol Islam sejati?

Saat Islam turun, selain apa yang murni datang dari agama seperti syahadat, terdapat perkara lain yang memang sudah ada di zaman Jahiliyah. Nabi Muhammad SAW terkadang melarang perkara tersebut, namun di kesempatan lain beliau membiarkan bahkan melakukannya. Apa yang dilarang, merupakan apa yang tidak sesuai dengan identitas Islam. Sementara apa yang dibiarkan atau dilakukan, inilah yang dinamakan budaya atau tradisi Arab yang tidak bertentangan dengan nilai Islam. Meskipun demikian, ia bukanlah Islam itu sendiri dan tidak mewakili Islam secara denotatif. Maka, perbedaan yang terjadi pada ranah demikian adalah suatu kewajaran dan perbedaan itu justru menjadi nilai yang memperkaya Islam itu sendiri.

Justru akan berbahaya seandainya pada ranah tersebut, pluralitas kebenaran berusaha untuk dinafikan. Tak bijak jika menganggap satu pandangan saja yang benar sedangkan selainnya adalah salah. Mengapa demikian? Sebab pada ranah ini, segala hal adalah dinamis, menyesuaikan tempat dan waktu. Maka seharusnya yang dituju bukanlah mencari kebenaran, melainkan menemukan kelayakan dan kepantasan sejauh ia baik dalam pandangan publik.

Dalam tulisan ini, saya tidak hendak menganggap bahwa simbol tidak penting dalam agama. Ia penting sejauh mampu berjalan dinamis dalam masyarakat. Nabi Muhammad SAW pun dahulu menggunakan simbol-simbol dalam dakwahnya. Beliau pernah menyuruh memanjangkan jenggot. Dalam hadits lain, beliau memerintahkan para sahabatnya mengenakan pakaian berwarna putih.

Nah, pada ranah seperti ini pemahaman kita akan konteks sangat diperlukan. Ya, Nabi memang memerintahkan kita untuk memanjangkan jenggot dalam rangka membedakan kaum muslim dengan musyrik, sebab terdapat konteks perang pada waktu itu. Sementara pakaian putih mencirikan kebersihan dan dengan berpakaian putih kita akan selalu terdorong untuk menjaga kebersihan. Dari sini, konotasi yang selaiknya kita pahami ialah perintah Nabi SAW untuk senantiasa hidup dalam kebersihan. Maka, ketika menemukan contoh kasus seperti ini, hal yang arif dilakukan adalah mencari konotasi-konotasi yang sesuai dengan teks, ruang-waktu masa turun, dan ruang-waktu kita sebagai pembaca sejauh mereka beririsan.

Al-Quran adalah kitab suci yang sangat terbuka untuk diinterpretasikan. Begitupula dengan perintah, larangan, dan konsensus Nabi SAW yang terekam dalam kitab-kitab sunah. Dengan demikian, akan terus lahir ilmu-ilmu baru yang akan memperkaya khazanah intelektual kita. Alih-alih menelurkan mitos-mitos agama di era modern dengan memotong rantai probabilitas konotasi makna yang beragam, seperti mengidentikan Islam dengan pakaian tertentu atau memelihara anggota tubuh tertentu.

Klik tautan di bawah untuk membaca pembahasan sebelumnya

Pakaian dan Mitos Keberagamaan (1)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait