Pancasila dan Negara Islam dalam Maqashid Syariah

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Sejak di sekolah dasar, kita diajarkan bahwa negara kita adalah negara dengan asas Pancasila. UUD 1945 dan teks Pancasila selalu diulang-ulang pada upacara mingguan. Tidak ada yang ganjil, tidak ada pula hal musykil, karena itulah kebenaran yang semestinya dipegang erat dalam diri. Kemudian saat tumbuh dewasa, kita baru sadar betapa hal yang kita percayai begitu saja waktu itu, ternyata mengandung nilai pemikiran dan sejarah yang tak sepele. Bagaimana mungkin penduduk yang begitu besar jumlahnya, dengan perbedaan dari berbagai sisinya, mulai ras, suku, bahasa, agama, dan tradisi, bisa disatukan– dan bagaimanapun memang harus tetap bersatu– dengan suatu batas, yang acapkali disebut sebagai ideologi, yang kemudian dinamai dengan Pancasila.

Namun, saat ini terdapat beberapa oknum yang berusaha mengusik kemapanan dan persatuan tersebut. Motifnya adalah rasa ingin mewujudkan sistem negara yang berasaskan Islam. Pancasila dianggap bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam yang mereka sebut khilafah. Pancasila yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa serta  disepakati oleh kalangan muslim sebagai suatu prinsip luhur itu, kerap dipersoalkan nilai-nilai keIslamannya. Dalam perjalanan berbangsa dan bernegara, usia kita belum mencapai satu abad, namun kesejarahan kita membuktikan bahwa tantangan itu terus ada, seperti gerakan-gerakan transnasional yang ingin mengubah nasionalisme menuju sistem negara agama, yang mana dalam mengupayakan tujuan itu mereka telah melakukan berbagai cara mulai dari jalur pemberontakan hingga jalur konstitusi.

Lalu kita ajukan dua pertanyaan; pertama sampai kapankah upaya Islamisasi sistem kenegaraan itu akan terus dilakukan. Dan siapakah yang akan melakukannya. Jawabannya adalah selama masih ada orang Islam yang memiliki spirit keisalaman tinggi tanpa diiringi kapasitas keilmuan yang memadai dalam memaknai arti Islam itu sendiri, ditambah watak keras dalam merealiasasikan tafsir keagamaannya yang tidak seduai dengan kesepakatan muslim lain.

Gus Dur mengistilahkan gejala semacam itu sebagai ‘musuh dalam selimut’. Dan kita bersyukur bahwa rupanya kita telah terbukti tumbuh sebagai negara yang matang dalam memperjuangkan falsafah kebangsaan dan ajaran keagamaan secara bersamaan. Bahwa hingga detik ini, suatu fakta yang menentramkan bahwa kita masih tetap bersatu dan bersama-bersama belajar agar selamat dari anacaman ‘ musuh dalam selimut’ itu.

Salah satu upaya penyelamatan dari ‘musuh dalam selimut’ adalah penegasan kembali bahwa tidak ada benturan yang berarti antara Pancasila dan Islam. Hal itu telah disadari sejak awal oleh para kiai Nahdlatul Ulama, yakni ketika Muktamar NU pada tahun 1935 di Banjarmasin, telah menghasilkan rumusan bahwa Indonesia tak harus dijadikan sebagai Daulah Islam. Soal menerapkan hukum Islam cukup diserahkan kepada kaum muslim di Indonesia agar mereka bisa beribadah serta bermuamalah secara bebas.

Meskipun hukum Islam tak harus diformalkan, namun pendekatan antara nilai-nilai Pancasila dengan spirit keIslaman telah digaungkan sejak dulu, di antaranya adalah yang dijelaskan oleh Gus Dur, bahwa Pancasila sebenarnya telah sesuai dengan Maqashid Syariah. Tapi soal bagaimana gambaran jelas kecocokan antara Maqashid Syariah tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Gus Dur. Hingga muncullah K.H. Afifuddin Muhajir menuliskan secara khusus tentang hal itu dengan menjelaskan secara detail unsur-unsur keIslaman yang terkandung di dalamnya.

Agama Bukan Sekadar Alat

Membicarakan nasionalisme bukanlah sekadar berbicara bagaimana kita berafiliasi pada suatu ideologi tertentu. Tapi fakta-fakta kekerasan saat ini, baik yang terjadi di Indonesia ataupun di negara-negara timur-tengah berupa pemberontakan-pemberontakan dan pengeboman adalah bias daripada pemikiran atau ideologi itu sendiri. Orang yang menganggap sebelah mata akan pentingnya nasionalisme, mungkin ia tak merasakan bagaimana menjadi korban kekerasan tersebut. Dari sini kita menjadi sadar betapa upaya mempelajari kebenaran dalam beragama dan bernegara adalah upaya menjaga maslahat kemanusian itu sendiri.

Hal itu terlepas dari keragaman analisis tentang apa sebenarnya motif dari tindak-tindak radikalisme tersebut. Ada yang mengaitkannya pada motif kemelaratan dan ketimpangan sosial. Hal itulah yang saya dapatkan ketika saya berdiskusi dengan Dr. Mustofa Abdurrahman, salah seorang wartawan senior Kompas, dalam sebuah kunjungan di kediaman beliau. Tersebab rasa akan diri yang termarjinalkan, maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan menempuh jalan alternatif berupa keagamaan, dan khilafah adalah sistem ideal bagi mereka untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Namun hal itu berbeda dengan apa yang disampaikan Ali Imron dalam wawancaranya bersama Kompas dua tahun lalu. Ali Imron adalah eks teroris yang sudah taubat, ia adalah salah satu pelaku bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 silam dan kini tengah menjalani hukuman seumur hidup penjara. Untungnya, kini justru menjadi salah satu aktivis deradikalisasi. Bagi Ali Imron, motif seorang teroris adalah ketidaksukaannya melihat pemerintah yang tidak menerapkan syariat Islam. Kemudian ciri selanjutnya

Ali Imron menegaskan, bahwa upaya deradikalisasi harus dilakukan oleh semua kalangan  masyarakat. tidak cukup hanya diwakili oleh organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah saja, tapi semua elemen harus bekerja sama melawan radikalisme tersebut. Apa yang telah disampaikan oleh Ali Imron itu bukanlah perkara sepele, karena sebagai mantan teroris, dia paham betul bagaimana sistem radikalisme bekerja, mulai dari potensi-potensi hingga konsekuensinya yang terjadi. Bahkan dia tidak ragu mengatakan kalau  orang seperti dirinya hanya butuh waktu selama dua jam saja untuk mencuci otak seseorang agar menjadi radikal dan nekat melakukan aksi bunuh diri. Sebuah fakta yang mengejutkan, bukan?

Di timur tengah, khususnya di Mesir, upaya pencegahan terhadap radikalisme terus menerus dilakukan. Dan Al Azhar menjadi garda terdepan dalam gerakan tersebut.

Grand Imam Ahmad Tayyib menjelaskan bahwa paham kebangsaan dan kerukunan hidup bersama adalah sesuatu yang mesti selalu digaungkan. Karena dengan paham itulah kita berharap bisa menangkal kaum radikalis yang tiada henti mencuci otak para generasi muda dengan memberikan pemahaman-pemahaman yang keliru tentang Negara Islam, seperti konsep tentang ahl al-dzimmah, jizyah, harta rampasan dan seterusnya. Terlebih setelah runtuhnya kekhilafahan Turki Usmani pada tahun 1924, hukum-hukum yang diterapkan dalam sistem khilafah adalah hasil perumusan yang memang dikhususkan dengan situasi zaman itu. Maka secara logika serta pemahaman fikih yang tepat,   saat ini kita perlu menyesuaikan hukum-hukum sesuai berubahnya sistem politik (khilafah) itu sendiri. Misalnya dalam bermuamalah dengan non-muslim dalam konteks negara Islam. Oleh karena itu upaya untuk merubah sistem politik masa kini dengan ‘sistem-sistem khayalan’ dalam benak mereka tidaklah memiliki dasar hubungan yang jelas dan pasti dengan syariat, fikih, bahkan terlihat jauh dari dari aturan-aturan syariat Islam serta nash-nash keagamaan yang transenden .’ ( Grand Syekh Ahmad al-Thayyeb jilid 2 hal. 248-249)

Saat kita mengamati gejala-gejala dari kaum radikalis, yang mana dalam hal ini tidak selalu berjauhan dari wacana ‘Negara Islam’ atau penegakan ‘Syariat Islam’, kita akan menemukan bahwa poin permasalahan mereka  terletak pada cara berpikirnya. Mereka tidak bisa menerima tafsir lain, cenderung anti dengan ijma’ (konsensus ulama). Atau katakanlah, seorang yang terpapar radikalis itu karena bodoh dalam ilmu-ilmu keIslaman seperti fikih, usul fikih, ulumul quran dan tafsir.

Di Internet, wacana untuk kembali ke khilafah bisa diakses dengan mudah. Dan benar, seperti yang telah disinggung di atas bahwa salah satu motif radikalisme adalah perasaan sebagai umat yang termarjinalkan. Dengan melihat kehidupan umat muslim yang dilanda problematika — itu terjadi ketika dibandingkan dengan situasi  dunia barat yang penuh dengan kemajuan dan kesejahteraan– sehingga rasa simpati pada umat tersebut berujung pada sikap menyalahkan negara yang tak Islami; sebuah sistem yang tak menerapkan hukum Islam. Dari sini akhirnya terlihat bagaimana mereka memposisikan agama, dalam hal ini khilafah sebagai suatu alat pembebasan dan pengembangan ekonomi.

Pada taraf ini, lagi-lagi mereka tak bisa membedakan mana agama dan mana pelaksana agama. Model berpikir semacam itu terkesan menggeneralisir persoalan pada titik ideologi semata. Ironis sekali, jika kehidupan yang teramat luas ini dikerucutkan  dan dibebankan sepenuhnya pada agama, yang mana hal itu justru menggelikan karena tuntutan agama bukanlah berada pada pembentukan dirinya, melainkan pada pembentukan  manusianya. Agama adalah ajaran yang sempurna, dan pada titik itulah ia sampai pada kefinalannya. Sedangkan manusia tidak sempurna, sebab itu ia tidak boleh dan tidak akan pernah selesai. Dan kehidupan adalah bias dari interaksi antara agama yang sempurna dengan manusia yang tak sempurna tersebut.  Di situlah nilai pelajarannya.

Mengenai hubungan antara agama dan perubahan sosial, Gus Dur memiliki pandangan yang menyegarkan:

‘Dalam proses perubahan sosial, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan ‘sarana’ bagi proses perubahan itu. Dunia itu berkembang menurut pertimbangan ‘dunia’-nya sendiri. Agama hanya mempengaruhi sejauh dunia siap dipengaruhi, tidak lebih dari itu. Begitu agama mengubah dirinya menjadi penentu, tidak lagi mempengaruhi tetapi menentukan, maka dia telah menjadi duniawi. Kalau hal ini yang terjadi, pada gilirannya dia bisa mengundang sikap represif. Agama menjadi represif, untuk mempertahankan dirinya.’ ( Gus Dur; Islam Kosmopolitan hal. 65-66)

Selanjutnya; Pancasila dan Negara Islam dalam  Maqashid Syariah (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait