Pancasila dan Negara Islam dalam  Maqashid Syariah (2)

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Sistem Pemerintahan Islam Perspektif Abdul Wahhab Khallaf

Seorang penganut paham khilafah akan menganggap sistem khilafah adalah model pemerintahan Islami yang paling tepat sepanjang zaman. Sampai-sampai, mereka beranggapan bahwa itulah satu-satunya sistem yang Islami, dan hanya dengan itulah hukum Islam bisa ditegakkan. Tapi pertanyaannya, apa benar para ulama sepakat dengan pendapat semacam itu. Jawabannya sudah jelas, ideologi trans-nasional dilarang, bahkan masyarakat kian hari semakin sadar bahwa justru orang-orang yang anti nasionalisme itulah yang seringkali berbuat radikalisme. Meskipun suara tersebut selalu minoritas, tapi kenapa selalu saja ada orang-orang yang bersimpati kepadanya.

Dari sini penjelasan mengenai sistem ketatanegaraan perspektif Islam menjadi penting. Pada tahun  1950, salah seorang ulama Azhar Abdul Wahab Kholaf menuliskan tentang sistem ketatanegaraan dalam Islam (al-Hukumah al-Islamiyah).

Beliau menjelaskan bahwa sejatinya sistem pemerintahan dalam Islam tidak pernah disinggung secara jelas (pasti/langsung), baik dalam teks-teks al-Qur’an maupun hadis. Sistem yang dimaksud adalah sistem dalam bentuk formal (syakliy). Akan tetapi syariat memberi penjelasan dari segi asas-asas dasarnya.

Dalam pemikiran Abdul Wahab Khalaf, asas-asas dasar dalam membentuk negara Islam setidaknya kita ringkas ke dalam dua asas dasar. Pertama adalah asas musyawarah (syura), dan kedua adalah asas kesetaraan hak. Dari asas pertama berupa perlunya akan sistem permusyawarahan dalam pengambilan hukum, maka hal itu berarti menuntut adanya sistem konstitusional (dusturi) dalam penetapan hukum dan kebijakan sosial, serta tiadanya titik temu antara Islam dengan apa saja yang bersifat tirani (istibdadi).

Mengenai asas yang pertama ini, Abdul Wahab Kholaf mengambil dalil dari beberapa ayat dalam al- Quran.

Allah SWT Swt berfirman:

… orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.’

Dalam ayat ini, Allah SWT Swt menjelaskan bahwa karakter orang mukmin adalah bermusyawarah ketika memutuskan sebuah perkara. Bahkan karena begitu pentingnya musyawarah, sampai-sampai dalam ayat ini ia digabungkan dengan urusan solat dan zakat.

Ayat lain yang juga memberikan penegasan akan asas musyawarah adalah seperti dalam surat Ali Ilmron, Allah SWT Swt berfirman:

Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.

Ketika menghadapi perang Uhud, Nabi Saw bermusyawarah dengan kaum muslimin terlebih dahulu. Lalu mereka memberi saran kepada Nabi agar langsung memberikan serangan kepada musuh, sedangkan menurut Nabi alangkah  baiknya kalau umat muslim berdiam di Madinah saja untuk melawan serangan. Tapi Nabi menerima saran mereka meskipun pada akhirnya kaum muslim malah dipukul mundur oleh musuh. Berkaitan dengan kejadian itu, turunlah ayat tersebut. Yakni bagaimanapun hasil dan akibatnya, Nabi Saw tetap disuruh oleh Allah SWT Swt untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin.

Lalu dalil selanjutnya adalah firman Allah SWT Swt:

Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar Mereka itulah orang-orang yang beruntung (Ali Imran 159)

 Mengenai ayat ini, Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahab Kholaf, mempunyai penafsiran yang bagus sekali:

‘Pemaknaan ayat seperti ini, yakni keharusan sistem politik Islam sebagai sarana dalam melaksankan amar makruf dan nahi munkar ialah dengan melalui sistem majelis nuwwab (Dewan Perwakilan Rakyat) dalam hukum konstitusional. Hal itu mengisyaratkan seolah-olah memberi penjelasan bahwa urusan kaum muslimin memang harus diselesaikan melalui musyawarah. ‘ ( Abdul Wahab Khalaf; al-Maqolat fi al-Siyasat al-Syar’iyyah, hal: 10-14).

Setelah memberikan perincian sebagaimana di atas, yakni tentang asas-asas dasar dalam pelaksanaan sistem pemerintahan Islam, kemudian penelitian Abdul Wahab Khalaf berlanjut pada bagaimana penerapan asas-asas tersebut dalam hukum politik kontemporer– dalam hal ini adalah sistem ketatanegaraan yang diadopsi oleh barat. Seperti demokrasi, ia membuktikan bahwa demokrasi yang mengembalikan kekuasaan pada rakyat tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan Islam.  Justru hal itu memiliki kesamaan dengan asas pemerintahan Islam di atas, yakni asas dusturiyah dan jumhuriah.

Penguraian Abdul Wahab atas isu-isu politik Islam bisa langsung ditemukan bagi pembaca dalam bukunya berjudul al-Maqolat fi al-Siyasat al-Syar’iyyah. Hal itu menjadi menarik karena Abdul Wahab Khalaf dalam dunia pemikiran Islam kontemporer diakui otoritas keilmuannya. Tidak hanya sebagai otoritas keulamaan (Al-Azhar Al-Syarif) namun juga kepiawaiannya secara akademik dalam melakukan kajian diskursus fikih dan usul fikih. Hal itu bisa dilihat melalui buku-bukunya yang diminati oleh banyak kalangan sampai saat ini.

Perspektif Musthafa Siba’i

Setelah membahas pemikiran Abdul Wahab Khalaf yang notabene adalah pemikir Mesir yang hidup pada paruh pertama abad ke-20 M, lalu kita akan beralih pada Musthafa Siba’i, seorang pemikir yang tak kalah kondang dari Suriah.

Pada tahun 50-an, ia menulis buku dengan judul al-Din wa al-Daulah fi al-Islam. Ringkasnya, buku ini sebagai kritik terhadap isu sekularisme yang sedang ramai dibicarakan dan digandrungi oleh beberapa kalangan waktu itu. Ada beberapa alasan mengapa sekularisme diminati waktu itu, di antaranya adalah pengertian bahwa agama adalah suatu prinsip keyakinan yang mandeg dan saklek. Agama tidak mungkin diterapkan pada abad ke-20 yang mana saat itu dunia sedang demam-demamnya akan hal-hal baru seperti teknologi dan nuklir. Agama sebagai sistem nilai yang telah berjalan berabad-abad lamanya itu tidak mungkin disandingkan dengan sistem negara yang melambangkan dinamika kehidupan manusia.

Pasca-revolusi Prancis, para pemuka agama di barat tidak boleh memasuki wilayah kenegaraan karena sejarah abad pertengahan cukup memberi pelajaran. Ketika kuasa sepenuhnya berada di tangan agamawan, maka saat itulah monopoli dan pemikiran dikendalikan oleh mereka. Sehingga jalan satu-satunya untuk menuju perubahan sosial, yang mana sistem negara adalah sentral untuk mewujudkan cita-cita itu, maka mau tidak mau harus ada pemisahan antara  agama dan negara. Musthafa Sibai dalam bukunya, berusaha membongkar kesalahan-kesalahan argumentatif tersebut. Seperti dalam hal otoritas keagamaan, Islam adalah agama demokratis, jadi pemaknaan tentang otoritas agamawan (rijal al-Din) dalam Islam tidaklah tepat.

Musthafa Sibai mengkritik para penganut sekularisme dikarenakan adanya pengaburan akan pengertian agama dan negara itu sendiri. Dalam hal ini, perlu dipertegas kembali, bahwa pengertian agama adalah suatu sistem menyangkut akidah dan penghambaan yang  bisa mengikat antara satu manusia dengan yang lain dan mampu menyatukan para penganutnya dalam suatu persatuan identitas yang substansial. Sedangkan pengertian negara adalah usaha suatu kelompok perwakilan rakyat dalam membela kebenaran dan keadilan antar warga negara serta upaya memudahkan jalan untuk mencapai tata kehidupan  yang damai dan sejahtera. (al-Din wa al-Daulah fi al-Islam, hal.9)

Dengan pengertian negara demikian itu, Musthafa Sibai membawa kita pada suatu paham yang substansial perihal kaitan Islam dan dunia politik. Hal itu menjadi jelas ketika ia tidak membatasi bagaimana bentuk negara dalam Islam itu sendiri. Tersebab yang dijadikan standar keIslaman bukanlah bentuk formal atau model tertentu (seperti khilafah dalam konteks gerakan trans-nasional), melainkan sebatas mengacu pada sistem yang ia sebut sebagai qowanin ‘ammah (undang-undang umum) dalam Islam.

Undang-undang umum dalam Islam menurut Musthafa Sibai terdiri dari empat butir nilai: Keadilan (al -adalah), Persamaan (al-musawah), Kemudahan (al-taysir) dan Kemaslahatan (al-maslahah). (Ibid. Hal. 43)

Konsep yang ditawarkan oleh Musthafa sibai ini berjalan seirama dengan apa yang telah kita pahami dari konsep asas-asas dasar pemerintahan Islam oleh Abdul Wahab Khalaf di atas. Yakni tidak adanya kecenderungan literalis kaum radikalis yang dengan mudah meneriakkan jargon ‘Negara Islam’ dan ‘pelaksanaan syariat Islam’, namun dalam kenyataannya malah tidak membuahkan hasil kerja apapun selain klaim-klaim literalis yang kaku dan keras. Dan hal itu lebih cocok dengan konteks Indonesia yang secara ideologi negara bukanlah negara agama, melainkan sebagai negara kebangsaan yang saat kita telaah kembali nilai-nilai Pancasila memiliki kesamaan dengan prinsip-prinsip  negara Islam yang telah dijelaskan di atas.

Selanjutnya; Pancasila dan Negara Islam dalam  Maqashid Syariah (3)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait