Beragama dengan Optimis

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Kopiah.co- Kalau hidup dibawa tegang, memang benar-benar bisa menegangkan. Tak sedikit orang stres, depresi, atau bahkan gila.Begitupun kalau hidup disikapi sebagai bajingan, memang benar-benar bajingan. Kalau tidak percaya, lihatlah di berita-berita. Hampir setiap hari kita dihadapkan pada kejadian-kejadian amoral dan kriminal. Mulai dari pemerkosaan, pembunuhan, kerugian sekian miliar karena tertipu investasi bodong, KDRT, dan masih banyak hal aneh yang meresahkan kenyamanan kita sebagai makhluk yang manusiawi.

Hal-hal yang saya sebutkan tadi, sebenarnya lebih menyangkut pada persoalan-persoalan sosial. Namun sebagai makhluk individual, kita juga memiliki pengalaman masing-masing. Artinya, setiap hidup itu pasti memiliki problematikanya masing-masing. Kalau terlalu berlebihan disebut sebagai problem, mungkin lebih tepatnya kita bisa menyebutnya dengan keganjilan.

Dari keganjilan-keganjilan ini kadang orang bersikap terlalu dramatis, sehingga memunculkan kesedihan, kegalauan, dan kekecewaan. Bisa kecewa pada apa saja, hingga pada akhirnya menyalahkan lingkungan, menyalahkan keluarga, menyalahkan dirinya sendiri, bahkan menyalahkan agama (baca: Tuhan).

Ada salah satu artis muda yang cukup terkenal di kalangan anak muda. Suatu ketika, dalam salah satu videonya, dia melontarkan statement yang intinya dirinya tidak lagi percaya Tuhan. Menurut dia, alasannya sederhana, karena “Tuhan tidak pernah ada ketika saya membutuhkannya”. Kurang lebih dia mengatakan demikian.

Saya pribadi tak begitu kaget dengan fakta demikian. Sebab sejak dulu orang yang tak percaya Tuhan sudah ada. Namun kita sebagai orang Islam tentu mempunyai suatu respon yang prinsipil. Misalkan begini, “Lha, kamu bilang Tuhan tak ada itu argumentasinya apa, bukan berarti sesuatu yang kamu anggap tidak ada itu beneran tak ada, lho. Atau jangan-jangan itu berasal dari ketidaktahuanmu mengenai Tuhan. Dan jika memang demikian, apa benar sesuatu yang tidak kita ketahui itu selalu tidak ada?”

Itu kalau kita mendekatinya secara teologis. Pembahasan seperti ini dalam diskursus Islam dikenal sebagai Ilmu Kalam. Berbeda lagi kalau kita medekatinya secara normatif. Kalau ada orang mengaku tidak percaya dengan agama, lantas bagaimana sikap dia melihat bahwa ada seorang nabi dari Arab bernama Muhammad SAW yang diutus sebagai nabi terakhir, mengajak kepada tauhid, dan membawa kitab yang diwahyukan bernama al-Quran. Dalam al-Quran terdapat sebuah tantangan bagi siapa saja yang mengingkari bahwa kitab tersebut bukanlah kata-kata buatan manusia, melainkan diturunkan secara istimewa kepada makhluk manusia di muka bumi, hendaknya dia membuat tandingan satu surat berisi tiga ayat saja. Apakah dia akan mampu melakukannya!

Tapi kejadian seperti ini akan terasa menggelikan jika dikaitkan dengan kaum solihin. Bagaimana bisa seseorang menganggap bahwa Allah itu tidak ada ketika dibutuhkan. Sedangkan bagi orang-orang saleh, dunia ini teramat begitu mengerikan andaikan tanpa dibersamai Allah Swt. Jadi statemennya kebalik, bukan “Allah tidak ada dalam hidupku”, melainkan “hidup ini tidak ada andai tanpa Allah”. Begitu kira-kira.

 ***

Saat hidup terasa terombang-ambing oleh situasi luar dan mental yang begitu rapuh, rupanya kita perlu belajar lagi kepada mereka yang terbukti lebih bahagia dan damai (lâ khaufun ‘alaihim wa lâ hum yahzanûn).

Di Indonesia kita beruntung memiliki para pemegang obor kedamaian itu. Di antaranya adalah Gus Baha. Orang ini begitu luar biasa. Tampilannya sederhana; bersarung, kemeja putih dan songkok hitam yang agak ditarik kebelakangan hingga terlihat rambut kepala bagian depan yang agak berantakan. Begitu sederhana. Tapi entah kenapa pandangan-pandangan keagamaannya sebagaimana yang tersebar di Youtube begitu menyenangkan dan menentramkan. Salah seorang teman saya mengatakan bahwa Gus Baha itu Syekh Mutawali Sya’rowinya Indonesia.

Dari Gus Baha kita belajar betapa hidup itu happy, rileks dan menyenangkan; betapa agama adalah bunga dalam taman-taman kehidupan.

Mengapa bisa demikian? Karena Gus Baha memperkenalkan siapa itu Allah dan apa itu ubudiyah dan rububiyah melalui penjelasan-penjelasan tafsir Al Quran, dawuh-dawuh dan laku luhur dari hidup Nabi Muhammad, juga ajaran para wali dan salaf as-shâlih. Begitulah kita melihat keutuhan dan kelengkapan dalam diri Gus Baha.

Seringkali yang diajarkan dalam pengajian Gus Baha adalah prinsip dasar ubudiyah seorang manusia. Ubudiyah di sini dipahami sebagai paham substansial bagaiamana kita menyadari status kehambaan secara mutlak. Ubudiyah di sini itu tidak melulu ketika sedang malaksanaan ketaatan saja, melainkan murni sebagai kesadaran ontologis bahwa mau taat maupun maksiat, manusia tetaplah hamba. Tidak boleh sombong dan merasa cukup dengan dirinya sendiri ataupun merasa putus asa atas segala situasi dan kondisi dirinya. Mau maksiat dan berdosa sebesar apapun, di mata Allah itu semua perkara kecil. Rahmat Allah melampaui segalanya. Ketaatan dan kemaksiatan dalam bentuk apapun, tidaklah berdampak sedikit pun atas status rububiyah (ketuhanan) Allah SWT.

Dari sini, kita diajari oleh Gus Baha tentang kesadaran bahwa Allah itu memang Tuhan yang memiliki sifat-sifat agung dan luhur. Sebab itu, hubungan yang perlu ditekankan oleh diri kita sebagai hamba pada  Allah Swt adalah status kenyamanan.

Status kenyamanan bersama Allah inilah yang rupanya perlu kita terapkan dalam kesadaran kita.

Manusia mengalami berbagai penurunan kejernihan karena sebab kebergantungan pada diri sendiri. Seolah tidak ada status ubudiyah dalam diri, juga penyerahan total pada Allah SWT sebagai penyandang identitas ketuhanan itu. Semua target, langkah, cita-cita dan segenap probolematikanya seolah dikuasai oleh dirinya sendiri. Padahal yang namanya ubudiyah ya ubudiyah: ubudiyah sebatas menjalankan sistem yang bergerak secara mekanisme belaka. Namun yang berkuasa dan menjadi asal usul serta memberi keputasan akhir hanyalah Alloh semata.

Gus Baha sering mengatakan, hidup itu gak usah aneh-aneh. Yang penting tidak maksiat saja sudah bagus. Yang penting itu solat. Hidup itu hanya menunggu waktu solat (lima waktu). Itu saja. Dan kalau seumpama seseorang terlanjur melakukan dosa besar, maka ya tetap kembali kepada Allah SWT. Karena bagaimanapun kanjeng Nabi SAW diutus itu ya memberi harapan kepada siapapun itu. Termasuk orang-orang yang berbuat dosa besar sekalipun, kalau mengucapkan “lâ ilâha illallâh” maka dia akan masuk surga. Bahkan dalam sebuah hadis dijelaskan “wa in zanâ wa in saroqo”, sekalipun pernah berzina dan mencuri.

Gus Baha mengritik para dai yang ketika menjelaskan agama seoalah-olah yang terkesan hanyalah neraka, neraka dan neraka saja. Menurut Gus Baha, hal demikian itu tidaklah tepat. Bagaiamana mungkin agama yang megajarkan kunci bahwa kunci surga adalah lafadz lâ ilâha illallâh, sedangkan kita tidak pernah diajari kunci neraka kok malah bawaannya pesimis dan akan masuk neraka. Kita itu diajari dan dikasih kunci surga, bukan malah kunci neraka, kok pede banget masuk neraka. Gak masuk akal!

Dan lagi, Gus Baha juga mengritik teori sû’ul khâtimah. Bagaimana mungkin teori ini bisa begitu familiar dan begitu mengancam orang Islam, sedangkan dalam Al Quran di jelaskan bahwa nanti itu kita dilihat dari ukuran amal. Manakah yang lebih dominan, apakah amal yang baik atau amal yang buruk. Bukan dilihat di akhirnya. Bahkan Gus Baha menjelaskan, kalau orang meniggal dalam keadaan bermaksiat sekalipun perlu dilihat dari perspektif yang positif, yakni bersyukur itu adalah maksiat terakhir dalam hidupnya, karena kalau seumpama masih hidup, khawatirnya akan mengulang maksiat lagi. Tapi statusnya tetap dilihat dari timbangan amal dan dikembalikan kepada Allah SWT.

Kita harus bahagia karena Allah SWT itu Maha Pengampun, Pemberi Rahmat dan dengan status ketuhanan (rububiyah) yang dia miliki menjadikan dirimya tidak terikat oleh sistem-sistem tertentu. Semua adalah kehendak dan kuasanya.

Dengan pandangan seperti ini, kita akan terselamatkan dari kerumitan-kerumitan mentalitas, entah itu bersifat individual ataupun sosial. Justru sebaliknya, tidak hanya melihat agama sebagai suatu lambang optimisme kehidupan, bahkan mulai sekarang kita belajar bahwa agama adalah nafas-nafas kehidupan itu sendiri. Tidak ada kerumitan yang begitu berarti, kita menjalani tugas-tugas ubudiyah sebagai seoarang anak, seoang murid, seorang pemuda, dan juga sebagai seorang warga negara dengan rileks dan bahagia.Jika tidak bisa secara langsung, setidaknya kita sama-sama belajar bagaimana berjalan menuju gelombang pencerahan “lâ khaufun alaihim wa lâ hum yahzanûn!”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait