Bangsa Arab bukanlah sekadar objek bahan lelucon atau ejekan. Setidaknya dengan kalimat itulah saya ingin memulai tulisan ini. Perihal krisis yang melanda bangsa Arab kini tiada henti menjadi sorotan dunia internasional, tekhusus dunia Islam sendiri. Belakangan ini Dr. Mustofa Abdurrahman, seorang wartawan senior Media Kompas, meluncurkan sebuah buku berjudul, ‘Mengapa Bangsa Arab Terpuruk’. Buku ini adalah kumpulan tulisan beliau selama dua tahun yang dimuat di harian kompas.id setiap minggunya.
Ada beberapa catatan yang ingin saya tuliskan perihal tema ini. Pertama, masih relevankah tema semacam ini untuk dibahas, karena sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Pak Mus (begitulah biasa kami memanggil beliau), sejak dua abad yang lalu, tepatnya pada tahun 1893 seorang penulis Arab Mesir bernama Abdullah Nadzim telah menulis buku dengan judul, ‘Mengapa Bangsa Eropa Maju sedangkan Kita Mundur?’ Kemudian disusul oleh Syakib Arslan, seorang pemikir asal Libanon yang menuliskan buku yang begitu terkenal dengan judul, ‘Mengapa Umat Islam Terbelakang dan Umat Lainnya Maju?’ Tak lama kemudian, seorang penulis dari India, Abu al-Hasan al-Nadwi juga menuliskan tema serupa dengan judul, ‘Bahaya Kemunduran Umat Islam’.
Belum lagi artikel-artikel yang berkaitan tema tersebut, maka kita akan menemui kapasitas yang sudah melebihi batas. Tapi faktanya, apakah tulisan-tulisan itu berimbas kepada realita yang kita temukan, rupanya kita bisa melihat sendiri fakta konkret yang terjadi di lapangan.
Jika para pemikir Arab sendiri saja tidak berkutik di hadapan kenyataan, bahwa modernitas belum bisa dilaksanakan secara betul di negerinya, lalu apa gunaya kita yang bukan bangsa Arab ikut-ikutan membicarakan nasib orang lain.
Kita perlu jeli di sini. Alangkah tidak etis ketika kondisi keterpurukan tersebut hanya menjadi konten intelektual semata. Perihal problem kemiskinan tidak untuk dikontenkan. Jangan sampai kita tumbuh besar sebagai profesor dengan bidang masalah kemiskinan, yang secara fakta justru tak berkutik di hadapan kemiskinan itu sendiri.
Dari sini kita melihat, bahwa awal kondisi menyedihkan yang menimpa bangsa Arab, sebagaimana yang dituliskan oleh Prof. Azyumardi Azra, bangsa Arab mundur disebabkan oleh ganasnya isu-isu sektarianisme. Seperti realitas sosial-politik yang terjadi di Afghanistan, merupakan imbas dari tradisi pemberontakan yang mengakar di sana. Ihwal kudeta-mengkudeta seolah menjadi hal yang lumrah di negeri tersebut.
Sektarianisme secara terminologi dapat diartikan dengan, “Semangat atau fanatisme dan taklid berlebih-lebihan pada aliran atau mazhab, khususnya dalam ranah agama.” Sebagai kaum beragama, kita tidak mengelak, bahwa secara paham keagamaan, baik dalam akidah, fikih, dan tasawuf, kita memiliki kecondongan dan keberpihakan pada suatu mazhab tertentu, namun hal tersebut tidaklah membuat kita keluar dari batas-batas tertentu, yang kemudian dikenal dengan sikap toleran, pas, dan tidak berlebih-lebihan. Maka, tidak aneh jika kata sektarianisme oleh Prof. Azyumardi Azra diartikan pada tingkatan selanjutnya, sebagai manifestasi dari sikap intoleransi dan diskriminasi.
Kita bisa melihat dengan mudah fakta-fakta yang menggambarkan sektarianisme pada bangsa Arab, sekalipun pasca terjadinya fenomena Arab Spring. Selanjutnya, perihal yang perlu saya catat dari penjelasan Dr. Mustofa Abdurrahman soal kenapa bangsa Arab terpuruk, adalah gagalnya penegakan sistem demokrasi. Salah satu contohnya adalah Aljazair, negara tersebut baru menerapkan sistem pemilu Presiden secara demokratis, pada 12 Desember 2019. Hal itu baru terjadi setelah adanya kudeta militer yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan Houari Boumediene, atas rezim pemerintahan Presiden Ben Bella yang berkuasa sejak tahun 1965.
Begitu juga Lebanon dan Irak yang masih berjuang untuk menegakkan sistem demokrasi yang lebih modern, setalah pembagian kekuasaan melalui latar belakang sekte dan mazhab agama, terbukti gagal diterapkan. Untuk saat ini, satu-satunya negara Arab yang terbukti sukses menerapkan sistem demokrasi adalah Tunisia. Berangkat dari fakta demikian, muncul isu dari kalangan cendekiawan, bahwa sitem demokrasi memang tidak cocok untuk diterapkan di iklim politik kawasan Arab. Seolah-olah sejarah bercerita, bahwa Arab dan pola pemerintahan demojratis adalah dua hal yang saling bertentangan. Lalu keadaan bertambah dramatis ketika muncul kecurigaan, bahwa antara Islam dan demokrasi memang tidak bisa disatukan. Tapi Dr. Mustofa Abdurrahman membantah pandangan tersebut, karena faktanya, masih banyak dari negara-negara Islam non Arab yang terbukti sukses menerapkan sitem demokrasi seperti, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Turki, Iran, Nigeria dan Senegal.