Halalbihalal Intelektual; Menyemai Sikap Inklusif

Artikel Populer

Syadila Rizqy Al Anhar
Syadila Rizqy Al Anhar
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo | Sekretaris Umum Tanfidziyah PCINU Mesir 2022-2023

Kopiah.co – Hari lebaran menjadi festival keagamaan paling kolosal di Indonesia. Hal itu ditandai dengan beragam ekspresi masyarakat muslim Indonesia dalam merayakan hari lebaran. Salah satunya adalah tradisi halalbihalal yang merupakan terobosan kreatif masyarakat muslim Indonesia lantaran berhasil memadukan nilai tradisi lokal dengan nilai- nilai agama.

Kendati demikian, tradisi halalbihalal tidak hanya dilakukan di Indonesia. Para diaspora-pelajar di tempat saya tinggal saat ini (Mesir) pun turut mempromosikan tradisi tersebut tanpa mengurangi euforia dan substansi halalbihalal itu sendiri. Hanya saja, jika di Indonesia mereka dapat berbagi kehangatan bersama keluarga. Sementara di tanah rantau, cukuplah berbagi kebahagiaan dengan kawan-kawan seperjuangan.

Beberapa hari lalu, saya beserta kawan-kawan menggelar acara halalbihalal sekaligus peluncuran website kopiah.co -sebuah portal media yang berupaya mengentengahkan prinsip kebangsaan dan keagamaan- di auditorium Bung Karno, Hay Sabi’ (5/5). Kami menggandeng sejumlah aktivis intelektual Lingkar Studi Filsafat untuk ikut urun rembuk dalam mensukseskan acara tersebut. Hampir seluruh stakeholder di lingkungan Masisir menjadi tamu undangan pada halalbihalal ini, antara lain PCINU, PPMI, Kekeluargaan dan komunitas literasi (numesir.net, bedug.net, dan informatika).

Acara berlangsung meriah, kehadirian Gus Mis (Duta Besar Indonesia-Tunisia) menambah kemeriahan halalbihalal kali ini. Pasalnya, selain sebagai politisi, beliau merupakan sosok cendekiawan yang berlatar belakang Al-Azhar. Maka yang diharapkan dari kehadirannya tak lain adalah motivasi dan potret nyata ihwal tantangan yang kelak dihadapi oleh generasi kami.

Gus Mis berhasil memecut kesadaran kami agar peduli dan menghargai suatu proses. Beliau menyoroti tantangan Indonesia mendatang yang harus disambut dengan baik oleh para kader azhari. Pada momen halalbihal itu, Gus Mis berbicara panjang lebar tentang fenomena keagamaan di Indonesia serta singgungannya dengan peran strategis azhari di Tanah Air. Beberapa lini strategis baik dalam ranah sosial-keagamaan maupun sektor pemerintahan masih terbilang sangat membutuhkan sentuhan-sentuhan keagamaan yang mencerahkan. Beliau kemudian mendedahkan gagasan Al-Azhar tentang Islam hanif, ramah, toleran, dan inklusif dengan struktur argumentasi yang elegan dan bernuansa sufistik.

Seingat saya, beliau menghadirkan spirit cinta ala Jalaluddin Rumi sebagaimana tertuang pada diwan Rumi yang dibawanya itu; Fii al-‘Isyqi al-Ilahi. Di antara yang disampaikannya adalah ‘Kun wâtsiqan: fii diin al-hub laa yujadu mu’minun aw kaafirun, al-hub yahtadhinu al-jamî’.  ‘al-Hub ummuna wa nahju nabiyyina.’

Fii din al-hub, bahwa ajaran agama cinta, manusia senantiasa berlaku adil kepada siapapun tanpa memandang status agamanya. Sebab manusia terlahir dari cinta, dan cinta adalah ibu umat manusia. Lebih dari itu cinta adalah pusaka Nabi Muhammad Saw yang harus dilestarikan dengan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. (al-hub ummuna wa nahju nabiyyina).

Dewasa ini, krisis kemanusiaan nampaknya semakin menjadi-jadi. Umat membutuhkan gagasan-gagasan keagamaan yang mencerahkan (problem solver). Melalui syair Rumi, Gus Mis mengingatkan betapa cinta mampu menjadi angin segar atas ingar-bingar yang seringkali disebabkan oleh kegagalan sejumlah kalangan dalam memaknai nilai-nilai agama.  

Spirit cinta tercermin dalam peradaban dialog yang gencar disuarakan Al-Azhar melalui agenda-agenda strategis, muktamar, misalnya. Dialog antaragama tersebut merupakan sebuah upaya membangun toleransi dan semangat persatuan di antara umat beragama. Tidak hanya melalui muktamar, dalam beberapa kesempatan, Grand Syekh al-Azhar pun menegaskan pada seluruh umat muslim agar mengambil peran dalam menyebarkan nilai-nilai luhur keislaman di tengah-tengah masyarakat. Di mulai dengan perilaku sehari-hari, seperti memberi hadiah kepada nonmuslim dan mengucapkan selamat hari raya penganut agama lain.

Sebelum merangkak lebih jauh, Gus Mis memaparkan peranti-peranti yang harus dimiliki oleh kader-kader azhari sebelum memasuki medan dakwah, antara lain; sikap inklusif. Selain memperdalam khzanah Islam klasik (turats), pelajar al-Azhar tidak seharusnya menutup diri dari produk pemikiran liyan meskipun berbeda keyakinan. Sebab tidak sedikit ulama kenamaan al-Azhar yang melanjutkan studinya di Barat, di antaranya; Syekh Sulaiman Dunya, Dr. Hamdi Zaqzuq, Grand Syekh al-Azhar, dan lain-lain. Dan kita tidak bisa menutup mata betapa besar kiprah mereka dalam menyemarakkan nilai moderasi (wasathiyyah al-Islam) dalam hidup keberagamaan.

Sebaliknya, sikap eksklusif sungguh bertolak belakang dengan karakter ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak mengenal sekat dan batas, siapa pun bisa meneguk mata air keilmuan. Sikap ini pun juga tidak sejalan dengan sikap para pendahulu kita yang senantiasa berusaha mengumpulkan hikmah-hikmah yang tercecer di tengah-tengah kaum muslim. (al-Hikmah dhollatu al-mu’min). Setidaknya, kita bersama-sama menyudahi gesekan eksternal-modern yang acapkali lahir dari persinggungan identitas antara timur dan barat. Singkat kata, dengan sikap inklusif, kita mampu membangun peradaban yang ideal.

Saya teringat gagasan Amartya Sen (Filsuf India-Akademisi Harvard University) terkait peradaban. Secara tegas, Amartya berpandangan bahwa peradaban adalah hasil kontribusi antar bangsa. Bagi saya, premis tersebut adalah premis yang kuat. Ia mencoba mendobrak pandangan ego sepihak dari sejumlah kalangan. Sebagai contoh, ia menyoroti tragedi WTC 11 September yang membidani lahirnya pandangan-pandangan ekslusif dari kalangan Muslim. Antara lain, ada anggapan tak berdasar bahwa kehancuran WTC merupakan usaha memberi pelajaran terhadap keangkuhan barat. Padahal, jika ditelisik, cukup banyak orang muslim yang bekerja di tower tersebut.

Spirit cinta akan melahirkan sikap inklusif. Sudah seharusnya, kita mulai menanam bibit-bibit itu sedini mungkin. Era globalisasi menuntut sikap keterbukaan. Di sini bukan berarti kita menanggalkan identitas kita sebagai timur, hanya saja kita perlu membuka diri untuk menerima kebenaran dan kebijaksanaan yang muncul dari selain kita. Sebab yang diperlukan untuk menyongsong perdamaian dunia tak lain adalah kerjasama membangun peradaban demi kemanusiaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait