Kopiah.co – Mendengar kata agama dan modernisasi secara sekilas, seolah-olah menjadi dua kata yang saling bertolak belakang. Agama kerap diasosiasikan sebagai sejarah masa lalu dan keimanan terhadap sesuatu yang tidak dapat terjamah oleh panca indera.
Agama menjadi suatu realitas sosial yang menggerakkan manusia kepada sesuatu yang fiktif dan kepercayaan terhadap khayalan, layaknya zombie yang dikendalikan oleh virus di otak manusia
pengajaran keagamaanpun selalu menampakkan dirinya sebagai ajaran usang yang hanya mengestafetkan yuridis masa lalu dan menanamkan pengetahuan kuno untuk diterapkan pada manusia abad ini
Di sisi lain, kemoderenan diartikan sebagai kemajuan, kebebasan, dan reformasi ilmu pengetahuan yang mengedepankan rasionalitas sebagai pondasi utamanya. Agama adalah keterbelakangan, dan modernisme sebagai kemajuan.
Abdelmajid Charfi, seorang cendekiawan dari Tunisia menawarkan konsep keimanan modern yang diilhami oleh perangkat ilmu pengetahuan modern dan titik berat persatuan manusia di atas simpul tauhid.
Ajaran Keimanan Yang Fitrah dan Universal
Tauhid, sebagai hal utama yang diajarkan oleh Islam merupakan ajaran turun-temurun dari Nabi, begitu juga tauhid menjadi ajaran utama yang diestafetkan dari Adam hingga Muhammad, sehingga ajaran tersebut menjadi inti ajaran setiap agama yang dibawa oleh para utusan.
Keesaan Tuhan tidak hanya menjadi klaim pembenaran terhadap Islam saja, nyatanya, tauhid juga merupakan ajaran utama dari agama-agama yang ada, khususnya agama samawi yang diturunkan Tuhan lewat perantara nabi-nabinya
Selanjutnya, ajaran tauhid tadi menjadi pusat ajaran institusi keagamaan yang berkembang pada setiap peradaban manusia. Yahudi, Nasrani, maupun Islam menjadikan tauhid ini sebagai tujuan daripada ajaran agama tadi.
Peng-esa-an terhadap Tuhan sesungguhnya telah menjadi fitrah setiap manusia sejak awal kehadirannya di dunia ini, sebagaimana sabda nabi “Setiap manusia dilahirkan dengan Fitrah (untuk mengesakan Tuhan)”
Maka, prinsip inilah yang kita bungkus sebagai alat pemersatu dalam kemanusiaan yang bergotong-royong membangun peradaban bumi yang unggul.
Keimanan modern yang digaungkan oleh Syarafi ini menitikberatkan institusi keagamaan untuk menjadi jembatan dialog kemanusiaan yang membangun, dan tidak lagi menjadi ceruk pertikaian yang dilandaskan keimanan.
Reinterpretasi Teks Keagamaan
Simpul kemanusiaan yang terbentuk dari keimanan (tauhid yang fitrah) antar agama ini tidak bisa berjalan dengan baik tanpa adanya pembacaan ulang terhadap teks keagamaan tiap-tiap agama.
Pembacaan yang modern ini mendorong manusia beriman untuk menginterpretasikan teks keagamaan tersebut secara relevan dengan budaya dan generasi dimana ia hidup. Pembacaan tentang jihad misalnya, tidak bisa lagi kita artikulasikan sebagai pertumpahan darah dan perang memperjuangkan agama.
Untuk menciptakan ekosistem keagamaan yang modern, diperlukan penafsiran yang berlandaskan prinsip-prinsip humanistis tadi untuk menghindari pemaknaan wahyu yang bercorak kekerasan.
Dengan adanya reinterpretasi teks keagamaan yang bersifat humanis dan modern ini, dialog antar iman dapat menghasilkan solusi kemanusiaan atas permasalahan dunia di masa kontemporer.
Dalam peradaban yang maju ini manusia memiliki banyak alat untuk menyingkap kebenaran secara empirik, “Berkat kemajuan yang cemerlang, manusia hari ini dapat menyingkap beragam kebenaran empiris yang dibuktikan dengan ilmiah” (Charfi، Abdelmajid dkk., 2021, hlm. 20)
Menurut Charfi, pemahaman keagamaan ini harus ditopang oleh keilmuan yang modern juga, inilah yang akan menjadikan agama sebagai ajaran yang holistik dan tidak dipandang sebagai ajaran kuno yang layak ditinggalkan.
Kesadaran Orang Beriman
“Orang beriman yang cerdas dan sadar selayaknya melakukan rekonstruksi paham keagamaan secara mengakar, kemudian menempatkan agama sebagai kekuatan moral yang berperan besar dalam konteks sosial” (Charfi، Abdelmajid dkk., 2021, hlm. 25)
Charfi menempatkan kesadaran orang beriman sebagai pondasi yang mesti diletakkan untuk membangun pemahaman keimanan modern, yang dibangun diatasnya kedamaian, keselamatan dan kemanusiaan.
Pengajaran dogma agama usang yang dikampanyekan secara masif dan menjadi keimanan yang fanatik pada tatanan masyarakat modern seperti virus yang menyebar dengan cepat dari individu ke individu lainnya, yang penangkalnya hanyalah kesadaran.
Pemahaman keagamaan yang didapatkan secara buta tanpa adanya kesadaran individu dalam memahami ajaran agama merupakan bentuk kegagalan seorang individu dalam menangkap pesan Tuhan kepadanya.
Kesadaran orang beriman ini pula yang selanjutnya menjadi filter atas penyebaran ajaran keagamaan yang penuh dengan kebencian, kekerasan dan ajaran agama yang menyimpang dari prinsip kemanusiaan dan penerjemahan yang serampangan.
Pada akhirnya, perbedaan institusi keagamaan yang ada di muka bumi ini bukan menjadi persoalan yang pelik untuk mewujudkan persatuan, karena ajaran tauhid yang ada pada setiap agama bermuara pada konsep keimanan yang sama, yaitu Tauhid.
Simpul persatuan yang dimotori oleh kesadaran terhadap interpretasi baru yang relevan terhadap budaya dan perkembangan zaman inilah yang akan menjadi pilar pembentukan bangunan keimanan modern.