Kopiah.Co — Perjuangan kemerdekaan Tunisia dimulai pada awal abad ke-20, ketika negara paling ujung Afrika Utara itu masih menjadi protektorat Prancis. Menariknya, sebagaimana di Indonesia, gerakan kemerdekaan diorganisir, bukan hanya oleh kalangan politisi yang dipimpin Habib Bourguiba, namun juga kalangan agamawan seperti Abdul Aziz Al-Tsaāalaby yang keduanya berada di partai yang sama yaitu Partai Dustur.
Melalui artikel ini, penulisĀ tertarik untuk menjabarkan sosok Abdul Aziz Al-Tsaāalaby, sebagai agamawan yang memainkan peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Tunisia dan melawanĀ kolonialisme.
Ada tiga hal penting yang melatarbelakangi atau menjadi sebab kepenulisan artikel ini. Pertama, sosok Abdul Aziz Al-Tsaāalaby sebagai seorang tokoh agama yang terlibat dalam pergerakan melawan penjajah dengan segala risiko terberatnya.
Kedua, narasi Tsaāalaby mengenai pembebasan dan manusia merdeka yang terinspirasi dari Al-Qurāan. Ketiga, latar belakang pendidikan Tsaāalaby, satu almamater dengan penulis sebagai seorang yang lahir dari rahim Zaitunah, karena sama-sama menimba ilmu pengetahuan di lembaga pendidikan āZaitunahā, kini dikenal Universitas Zaitunah.
Sebab ketiga itu sebenarnya cukup narsis untuk disebutkan, namun penting disampaikan agar pembaca mengenal lebih dekat corak pemikiran (fikrah) dan pergerakan (harakah) seorang agamawan Tunisia, terutama Zaytuny serta kiprahnya dalam pengabdian terhadap bangsa, negara, dan dunia kemanusiaan.
Selain itu, penulis juga berharap dengan membaca sosok Al-Tsaāalaby ini, sebagai Warga Negara Indonesia, terutama pelajar di Tunisia, pembaca dapat meneguk inspirasi dari Tsaāalaby, dan bahkan melanjutkan perjuangannya di medan kehidupan saat ini.
Lalu, siapakah Abdul Aziz Al-Tsaāalaby? Apa perannya dalam kemerdekaan Tunisia? Dan bagaimana ia membangun narasi pembebasan yang terinspirasi dari Al-Qurāan?
Vivere Pericoloso Abdul Aziz Al-Tsaāalaby
Vivere pericoloso pasti dihadapi dan dirasakan oleh setiap tokoh pejuang. Vivere pericoloso adalah sebuah frasa bahasa Italia yang terdiri dari dua kata yaitu vivere, “hidup”, dan pericoloso, “berbahaya”, yang berarti “hidup penuh bahaya” atau “hidup menyerempet bahaya”.
Di Indonesia, ungkapan ini dipopulerkan oleh Bung Karno pada tahun 1964 sebagai judul pidato kenegaraan pada peringatan HUT ke-19 RI Tahun Vivere Pericoloso, setahun sebeleum peristiwa Gerakan 30 September.
Menjadi pejuang berarti berani mengambil resiko terberat dalam hidup. Nabi Muhammad SAW dalam perjuangan dakwahya tidak lepas dari caci-maki, pengusiran, hingga percobaan pembunuhan oleh musuh-musuhnya.
Bung Karno dalam situasi terberat mengusir para penjajah harus merasakan pahitnya hidup di ruang sempit penjara, pengasingan, hingga percobaan pembunuhan.
Dalam konteks perjuangan kemerdekaan Tunisia, abad ke-20 menjadi tahun vivere periciloso bagi Abdul Aziz Al-Tsaāalaby. Ia mengambil keputusan besar untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dengan dengan risiko dipenjara bahkan hidup di pengasingan, bertahun-tahun, berkali-kali.
Abdul Aziz Al-Tsaāalaby (1876-1944) lahir dari keluarga yang memiliki perhatian besar pada intelektualisme, terutama ilmu pengetahuan agama. Sebab itu, Tsaāalaby mengenyam pendidikan Islam di Zaitunah. Pasca lulus pada tahun 1895, Tsaāalaby mulai terlibat dalam gerakan aktivisme.
Ia aktif menulis dan menerbitkan jurnal keagamaan, Sabil al-Rasyad pada tahun 1896, meskipun satu tahun setelahnya jurnal tersebut dibungkam oleh Perancis. Pembungkaman Perancis membuat Tsaāalaby melakukan pengembaraan ke berbagai negara, di antaranya Turki dan Mesir.
Masa-masa pengembaraan itulah yang membuat Tsaāalaby mampu melihat dunia dalam kacamata yang lebih luas, selain mendapatkan banyak inspirasi karena bertemu dengan para tokoh besar di masanya, seperti Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, terutama dalam pendekatan wacana keagamaan yang moderat, inklusif, dan menekankan pada relevansi ajaran Islam dengan konteks sosial kontemporer.
Situasi yang sulit itu tidak membatasi Tsaāalaby untuk terus mengasah intelektualitas dan bersuara melalui tulisan. Pada tahun 1905 ia menulis buku Ruh al-Taharrur fi al-Quran, Spirit Pembebasan dalam Al-Qurāan, sebuah kritik Tsaāalaby terhadap penafsiran keagamaan yang keliru karena bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang damai dan gagasannya tentang Islam sebagai agama kemanusiaan yang memerdekakan setiap makhluk Tuhan.
Selain itu, Tsaāalaby juga bergerak dalam aktivitas politik pemuda Tunisia dan bahkan terjun langsung sebagai editor pada surat kabarnya yang berbahasa Arab. Hinggga pada tahun 1912, Tsaāalaby diusir dari Tunisia akibat pergerakkanya yang masif, yang membuat pemerintah Perancis di Tunisia merasa tertekan.
Pada tahun 1920, Tsaāalaby bersama teman-teman seperjuangannya mendirikan Partai Dustur sebagai wadah pergerakan politik yang menggalang kekuatan nasional melawan protektorat Perancis. Termasuk di dalamnya bergabung Habib Bourguiba yang baru lulus kuliah dari Perancis.
Partai ini menjadi wadah untuk berbagai kelompok bersatu dalam perjuangan bersama. Tsaāalaby menciptakan dasar persatuan yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk kelompok etnis dan agama yang berbeda.
Di tahun yang sama, Tsaāalaby juga menerbitkan buku fenomenal berjudul Tunis Al-Syahidah yang kemudian menyebabkan kemarahan dari pihak Perancis dan menjadi buku terlarang akibat kritiknya yang keras pada protektorat Perancis.
Efek pergerakkanya yang besar karena mampu mempersatukan kekuatan berbagai elemen masyarakat Tunisia, Tsaāalaby kembali diasingkan dan hidup di perantauan dalam waktu yang cukup lama. Tsaāalaby merantau hingga ke Irak bahkan India dan kembali lagi ke Tunisia pada tahun 1937.
Wafat pada tahun 1944, membuat Tsaāalaby tidak pernah menyaksikan Tunisia merdeka tahun 1956. Namun, perjuangan dan warisan semangat Tsaāalaby selalu abadi dalam hati masyarakat Tunisia hingga bertahun-tahun setelah kemerdekaan Tunisia diproklamirkan.
Narasi Pembebasan dalam Al-Qurāan
Kontribusi Abdul Aziz Al-Tsaāalaby dalam memperjuangkan kemerdekaan Tunisia berangkat dari perpaduan nilai-nilai agama dan aspirasi politik. Ia memandang bahwa agama dapat menjadi sumber inspirasi untuk kemerdekaan dan pembangunan.
Pemikiran keagamaan Tsaāalaby memberikan landasan moral dan spiritual bagi gerakan kemerdekaan Tunisia. Tsaāalaby mendukung interpretasi Islam yang progresif dan mencita-citakan masyarakat yang diilhami oleh prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, dan keadilan sosial.
Meskipun fokusnya pada perjuangan kemerdekaan, ia tetap memandang Islam sebagai landasan moral untuk memandu perubahan dan perbaikan dalam masyarakat. Tsaāalaby terinspirasi secara kuat oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Ia mencari inspirasi dalam ajaran-ajaran Al-Qur’an untuk merumuskan pandangannya terhadap kemerdekaan, hak-hak politik, dan perubahan dalam masyarakat Tunisia. Sebagai seorang ulama dan reformis Islam, ia menekankan pentingnya memahami dan menerapkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya Ruh al-Taharrur fi al-Quran, Spirit Pembebasan dalam Al-Quran, Tsaāalaby menyoroti tentang jihad. Baginya, jihad bukan hanya terkait dengan perang fisik, tetapi juga mencakup perjuangan untuk keadilan, pembangunan sosial, dan kesejahteraan umat manusia.
Ia menekankan pentingnya jihad sebagai usaha untuk mencapai kebaikan dan kedamaian, bukan sekadar konflik militer. Pandangan Tsaāalaby ini mencerminkan upayanya untuk mempromosikan interpretasi Islam yang moderat, toleran, dan menyumbang pada harmoni sosial.
Pemahaman yang seimbang dan kontekstual terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, menekankan pentingnya mengadaptasi ajaran Islam dengan konteks sosial. Pemikiran Tsaāalaby cenderung progresif, dengan upaya untuk memadukan nilai-nilai Islam dengan aspirasi modernitas dan reformasi. Ia mencari cara untuk menjawab tantangan zaman dengan tetap berpegang pada nilai-nilai agama.
Tsaāalaby memandang kebebasan sebagai hak fundamental yang harus dinikmati oleh setiap individu dan bangsa. Baginya, kebebasan mencakup berbagai aspek, termasuk kemerdekaan politik sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri dan mengelola urusan dalam negeri tanpa campur tangan asing.
Selain itu, sebagai seorang ulama, ia juga menganut nilai-nilai toleransi dan menghormati kebebasan beragama. Tsaāalaby memandang pentingnya setiap individu memiliki hak untuk menjalankan keyakinan agamanya tanpa tekanan atau diskriminasi.
Tsaāalaby mengambil inspirasi dari berbagai ayat Al-Qur’an dalam merumuskan pemikiran dan tindakan. Inspirasi dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan kebebasan dan martabat manusia menjadi landasan bagi pemikiran Tsaāalaby dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan kemerdekaan.
Banyak ulama Islam moderat, seperti Tsaāalaby sering menekankan pentingnya pemahaman dan aplikasi teks Al-Qur’an yang responsif terhadap tuntutan dan perubahan zaman. Pemikir Islam moderat cenderung mencari keselarasan antara prinsip-prinsip ajaran Islam dan kebutuhan masyarakat modern.
Pendekatan ini menciptakan ruang bagi dialog antara ajaran agama dan realitas kontemporer, mendorong interpretasi yang lebih responsif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi.
Sedangkan dalam kerangka umum nilai-nilai Islam moderat, banyak ulama, termasuk Tsaāalaby, menolak praktik kekerasan dan terorisme atas dasar keyakinan agama. Dalam bukunya Spirit Pembebasan dalam Al-Quran, Tsaāalaby sering menekankan pesan perdamaian, toleransi, pembebasan, dan keadilan yang terdapat dalam ajaran Islam.
Baginya, ajaran agama tidak seharusnya disalahgunakan atau diinterpretasikan secara sempit untuk mendukung kekerasan atau ekstremisme.
Abdul Aziz Al-Tsaāalaby, seorang Zaytuni harus menjadi teladan kita dalam menjalani kehidupan berbangsa. Perjalanan hidup Tsaāalaby tentu memberi inspirasi, bahwa ilmu pengetahuan yang kita miliki hanyalah berharga penuh ketika digunakan untuk mengabdi kepada praktik hidupnya manusia dan dunia kemanusiaan.
Ekspresi keagamaan kita jangan sampai berhenti pada ruang-ruang ibadah formal, namun juga ibadah fungsional.