Tasawwuf yang Membebaskan dan Mencerahkan

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Muktamar Sufi Internasional di Pekalongan sudah ditutup pada tanggal 31 Agustus kemarin. Di sana, telah berkumpul sekitar 70 tokoh sufi dari berbagai belahan dunia.

Setidaknya, ada dua kesan yang dicatat. Pertama, rupanya kita sebagai bagian masyarakat Indonesia, bersyukur dan sangat bangga dengan Maulana Habib Lutfi bin Yahya sebagai ketua sufi internasional karena menunjukkan betapa warga Indonesia bisa berkontribusi terhadap wacana keislaman global.

Kedua, muktamar ini menandai lahirnya wajah baru dunia sufi dan tarekat yang selama ini terkesan disalahpahami sebagai gerakan yang jumud dan mencitrakan wajah spiritual yang egoistik semata.

Melihat fenomena ini, saya teringat dengan Syekh Ahmad Zarruq (w. 1493 M), salah satu sufi besar berasal dari Fes, Maroko. Dalam karyanya berjudul Qawaid al Tasawwuf, beliau mengatakan kalau sulit untuk memberikan definisi seutuhnya perihal apa itu dunia tasawwuf. Hal itu disebabkan dari beragamnya model, jalan, dan karakter yang ditempuh oleh setiap sufi. Tapi, dari keberagaman makna dan pengertian tasawwuf, Syekh Zarruq menyimpulkan, bahwa semua model tasawwuf itu berangkat dari satu poin yang sama, yaitu reorieantasi diri secara penuh dan tulus terhadap keridloan Allah Swt ( al sidq al tawajjuh). Maka barang siapa mempunyai kesungguhan menghamba tersebut, maka dia sudah menjalankan tasawwuf.

Dalam kaidah ke sepuluh, beliau mengatakan: ” Perbedaan sebuah jalan tidak menandai perbedaan tujuan. Bahkan semuanya adalah satu kesatuan dalam perbedaan/keberagamannya, seperti jalan ( yang lebih cenderung pada) ibadah atau zuhud atau makrifat.”

Lalu muncul pertanyaan baru: ibadah yang bagaimanakan yang mencirikan dunia tasawuf, apakah cukup yang bersifat vertikal antara hamba-Tuhan semata, ataukah meliputi sisi sosial mencakup kemaslahan sosial, kemanusiaan dan peradaban, sebagai manifestasi spiritual kemanusiaan yang menyeluruh. Begitu pun dengan makrifat, yakni makrifat yang bagaimanakah yang menandai dunia tasawwuf.

Ternyata, kita bisa mendapatkan jawabannya dari hasil Muktamar Sufi kemarin yang merumuskan 9 rekomendasi sebagai ikhtiyar atau solusi atas krisis dunia global masa kini.

Pada butir-butir hasil Muktamar tersebut, kita bisa membaca dan belajar kepada para ulama sufi era modern kini, bahwa selain menekankan kepada setiap tarekat untuk lebih gencar lagi memberi pengajaran sufistik kepada umat, tapi tarekat juga menyoroti isu-isu sosial, ekonomi, dan krisis kemanusiaan dunia global yang menyebakan kekacauan entah berupa peperangan atau konflik internal sebagaimana terjadi di beberapa titik timur tengah saat ini.

Satu lagi, urgensitas dari muktamar kemarin adalah pentingnya Al Jama’ah. Yakni, pentingnya para ulama dan sufi berkumpul dan bersatu. Bersepakat atas kebenaran dan bersama-sama berniat merumuskan perdamaian.

Habib Lutfi dalam sambutannya menjelaskan bahwa tantangan dunia sufi saat ini adalah bagaimana caranya menghadirkan tasawuf dengan wajah yang indah dan benar, yang mampu membawa peran kemajuan dan kemaslahatan, baik bagi umat atau dunia global ( islah al ummah, difa’ ‘an al ummah; islah al watan wa difa’ ‘an al wathan).

Tasawwuf yang Membebaskan dan Mencerahkan

Muktamar Sufi Internasional di Pekalongan sudah ditutup pada tanggal 31 Agustus kemarin. Di sana, telah berkumpul sekitar 70 tokoh sufi dari berbagai belahan dunia.

Setidaknya, ada dua kesan yang dicatat. Pertama, rupanya kita sebagai bagian masyarakat Indonesia, bersyukur dan sangat bangga dengan Maulana Habib Lutfi bin Yahya sebagai ketua sufi internasional karena menunjukkan betapa warga Indonesia bisa berkontribusi terhadap wacana keislaman global.

Kedua, muktamar ini menandai lahirnya wajah baru dunia sufi dan tarekat yang selama ini terkesan disalahpahami sebagai gerakan yang jumud dan mencitrakan wajah spiritual yang egoistik semata.

Melihat fenomena ini, saya teringat dengan Syekh Ahmad Zarruq (w. 1493 M), salah satu sufi besar berasal dari Fes, Maroko. Dalam karyanya berjudul Qawaid al Tasawwuf, beliau mengatakan kalau sulit untuk memberikan definisi seutuhnya perihal apa itu dunia tasawwuf. Hal itu disebabkan dari beragamnya model, jalan, dan karakter yang ditempuh oleh setiap sufi. Tapi, dari keberagaman makna dan pengertian tasawwuf, Syekh Zarruq menyimpulkan, bahwa semua model tasawwuf itu berangkat dari satu poin yang sama, yaitu reorieantasi diri secara penuh dan tulus terhadap keridloan Allah Swt ( al sidq al tawajjuh). Maka barang siapa mempunyai kesungguhan menghamba tersebut, maka dia sudah menjalankan tasawwuf.

Dalam kaidah ke sepuluh, beliau mengatakan: ” Perbedaan sebuah jalan tidak menandai perbedaan tujuan. Bahkan semuanya adalah satu kesatuan dalam perbedaan/keberagamannya, seperti jalan ( yang lebih cenderung pada) ibadah atau zuhud atau makrifat.”

Lalu muncul pertanyaan baru: ibadah yang bagaimanakan yang mencirikan dunia tasawuf, apakah cukup yang bersifat vertikal antara hamba-Tuhan semata, ataukah meliputi sisi sosial mencakup kemaslahan sosial, kemanusiaan dan peradaban, sebagai manifestasi spiritual kemanusiaan yang menyeluruh. Begitu pun dengan makrifat, yakni makrifat yang bagaimanakah yang menandai dunia tasawwuf.

Ternyata, kita bisa mendapatkan jawabannya dari hasil Muktamar Sufi kemarin yang merumuskan 9 rekomendasi sebagai ikhtiyar atau solusi atas krisis dunia global masa kini.

Pada butir-butir hasil Muktamar tersebut, kita bisa membaca dan belajar kepada para ulama sufi era modern kini, bahwa selain menekankan kepada setiap tarekat untuk lebih gencar lagi memberi pengajaran sufistik kepada umat, tapi tarekat juga menyoroti isu-isu sosial, ekonomi, dan krisis kemanusiaan dunia global yang menyebakan kekacauan entah berupa peperangan atau konflik internal sebagaimana terjadi di beberapa titik timur tengah saat ini.

Satu lagi, urgensitas dari muktamar kemarin adalah pentingnya Al Jama’ah. Yakni, pentingnya para ulama dan sufi berkumpul dan bersatu. Bersepakat atas kebenaran dan bersama-sama berniat merumuskan perdamaian.

Habib Lutfi dalam sambutannya menjelaskan bahwa tantangan dunia sufi saat ini adalah bagaimana caranya menghadirkan tasawuf dengan wajah yang indah dan benar, yang mampu membawa peran kemajuan dan kemaslahatan, baik bagi umat atau dunia global ( islah al ummah, difa’ ‘an al ummah; islah al watan wa difa’ ‘an al wathan).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait