Kapitalisasi Agama

Artikel Populer

Saat itu saya berdiri di atas bukit Shafa untuk melakukan rukun umroh yang selanjutnya yaitu Sa’i. Melihat ribuan jamaah yang sedang beribadah, muncul keresahan yang sebenarnya sudah mulai saya rasakan sejak menginjak kaki di tanah haram ini. Ya, apakah benar agama ternyata dijadikan produk manusia

Keresahan ini tak berangkat dari ruang kosong. Agama adalah Lembaga—untuk tidak mengatakan objek— yang fundamental bagi manusia. Lembaga tersebut diperlukan manusia untuk membaca dan membantu mereka dalam memaknai hidup. Dalam setiap lini kehidupannya, tentu manusia sebagai subjek, memiliki kuasa untuk memilah kebenaran satu cerita daripada cerita lainnya demi memuluskan kepentingan-kepentingan di kehidupan tersebut.

Untuk itu, agama selalu memiliki nilai jual yang tinggi. Meski kerap menemukan harga yang dibandrol tak selalu sesuai dengan bobot agama atau fasilitas peribadatan yang diberikan, akan tetapi sejauh bandrol harga tersebut bernilai jual agama, semahal apapun akan tetap dibeli oleh para peminat, terutama yang memeluk produk agama tersebut. Maka tak ayal, agama kini menjadi produk keuntungan bisnis. Saat jamaah mendaftarkan diri kepada pihak travel misalnya, mereka memilliki sekian persyaratan, untuk bisa ikut membantu memberangkatkan jamaah umrah atau haji.

Dari sini, beberapa travel memiliki caranya sendiri dalam berkhidmah kepada jamaah, tentunya bandrolan harga juga menyesuaikan. Karena saya seorang backpaker—sebutan yang tenar dari mahasiswa untuk pergi umrah atau haji— yang hanya memesan biaya keberangkatan tertentu tanpa terlibat sistem kegitan travel, saya berkesempatan dapat menghayati kondisi umrah lebih dalam. Seorang jamaah travel sempat curhat mengenai makanan yang diklasifikasikan karena harga yang dibandrol tak sama dengan makanan mewah di meja kelompok sebelah. Meski menghuni hotel yang sama, ia mengeluh menu “ote-ote” menjadi satu menu di setiap harinya. Sempat ia curiga, apakah harga yang ia keluarkan belum cukup untuk menu yang paling tidak mengandung suplai vitamin dan energi bagi jamaah?

Tak hanya itu, saat melihat hotel berbintang menjulang di sekitar masjidil haram, teman saya spontan berujar, “Hanya orang tertentu yang bisa menghuninya, semalam saja bisa sampai sepuluh juta, Un.” Letak geografis yang dekat dengan tempat beribadah menjadi patokan harga.

Saat saya menaiki bus yang disediakan pemerintah setempat, saya sedikit memuji bahwa Saudi sebagai tuan rumah berhasil menjamu ribuan jamaah dengan fasilitas yang baik. Tetap saja, teman saya tidak sepakat. Ia mengatakan bahwa saya tidak perlu repot memuji, pelayanan dari Saudi adalah keharusan, mengingat devisa pemasukan mereka begitu melimpah ruah dan menjanjikan. Ribuan jamaah terus berdatangan, memberikan nilai devisa yang tinggi melalui harga-harga yang dibandrol oleh masing-masing travel.

Saya—untuk tidak mengaitkannya dengan teman saya— mulai curiga, jangan-jangan ini semua memang permainan kuasa manusia untuk memuluskan keuntungan mereka. Entahlah.

Fasilitas dan Kuasa Kapitalis

Ada dua hal yang perlu kita luruskan dalam fenomena ini. Pertama, travel dan kedua adalah pemerintahan Arab Saudi. Keduanya memiliki kehendak bebas untuk bisa memproses visa, keamanan, jaminan keberlangsungan ibadah jamaah dengan aman dan nyaman. Sebab itu, para jamaah memercayakan sepenuhnya urusan mereka kepada keduanya. Sayang, beberapa jamaah tak cukup sadar, untuk bisa meninjau ulang harga yang dibandrol travel misal, atau keamanan yang didapatkan dari pemerintahan Arab Saudi ternyata sebanding dengan nilai yang dikeluarkan. Naasnya, tak sedikit dari mereka untuk dapat membayar sedikit mahal agar mendapatkan fasilitas mewah selama beribadah.

Bukti konkritnya, hotel yang mengelilingi masjidil haram cukup membuat saya membaca adanya tindakan kapitalisasi. Jarak kedekatan dengan ka’bah menjadi patokan harga. Dugaan saya, merasa selalu dekat dengan ka’bah akan bisa meningkatkan kepuasan beribadah. Toh, nyatanya tidak begitu. Bagaimana bisa jarak penginapan menjadi nilai kedekatan kepada Tuhan?

Di sinilah, kecurigaan saya akhirnya terbukti, ada kapitalisasi yang bergerak di lingkup ruang-ruang peribadatan. Agama sebagai Lembaga yang seharusnya bersih dari gerak itu, nyatanya kini menjadi sangat menjamur, terlebih di kalangan pebisnis travel. Namun sejauh itu pula, saya menyadari ada hal yang saya rasa perlu diisi oleh gerak kapitalis tersebut. Mereka adalah orang-orang yang tidak merasa dirugikan atau dimanfaatkan dalam sisi apapun. Ya, mereka adalah para jamaah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait