INTENSITAS GUS DUR PADA KEADILAN GENDER

Artikel Populer

Kunti Zulva Russdiana Dewi
Kunti Zulva Russdiana Dewi
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Redaktur Ahli Bedug Media | Fatayat Study Club Mesir | Anggota kajian di Sekolah Tinggi Filsafat Girinata | Anggota kajian Salon Budaya PCINU Mesir

Membahas keadilan, sosok Bapak humanisme Indonesia, Gus Dur, selalu mengambil perspektif yang berbeda dari kebanyakan orang. Dalam ranah keadilan gender misalnya, Gus Dur tak memusatkan perhatiannya pada kesalahan perempuan sebagaimana dari kebanyakan pengamat. Mungkin konteks sosial Gus Dur yang hidup di tengah keluarganya yang penuh dengan perempuan, menjadikannya sebagai sosok yang mampu menanggulangi soal ketimpangan gender.

Tentu kita tidak lupa, saat menjadi presiden, ia memerhatikan hak-hak perempuan secara detail, isu keadilan gender muncul di permukaan dan menjadi pembahasan di ruang pemerintahan. Seperti halnya perubahan nama kementrian dari urusan peran wanita menjadi kementerian pemberdayaan perempuan. Tak hanya itu, gender mainstriming yang diupayakan pada Instruksi Presiden no 09 tahun 2000 juga menjadi sejarah yang tak terluapkan.

Yang perlu kita catat, Gus Dur sempat memprotes kebijakan pemerintah Malaysa yang selalu merugikan pihak buruh Indonesia. Kejadian 2005 saat terjadi pengusiran buruh migran Indonesia dari Malaysa mempercepat langkah Gus Dur untuk mengurus dokumen-dokumen penting agar dapat dilakukan tindakan yang adil untuk mereka.

Polemik ketidakadilan pada kaum yang dianggap lemah, menjadi bahan bacaan kritis oleh gus dur. Begitulah ia bertahun-tahun setelah kepulangannya tetap menajdi perbincangan sebagai orang yang humanis. Mengapa Gus Dur demikian? Akarnya adalah, Gus Dur berhasil mempraktikkan konsepsi Tauhid yang ia pegang sebagai masyarakat muslim sebagaimana mestinya.

Konsepsi Tauhid adalah akar bagaimana manusia dapat hidup di bawah naungan pola dan praktik hidup yang harmonis, menghamba pada satu Tuhan yang perlu dan patut disembah. Syekh Muhammad Syaltut pernah memaparkan, “Tabiat hidup manusia antara laki-laki dan perempuan memiliki batas yang sama. Allah menganugerahkan kedua jenis manusia itu dengan potensi yang sama, masing-masing dibebani tanggung jawab. Sehingga, keduanya diharapkan mampu melaksanakan tugas tersebut.” Artinya, manusia memiliki nilai dan kedudukan yang sama di hadapan manusia lainnya. Tidak boleh ada yang meninggikan derajat di hadapan Allah, karenanya manusia hanya dinilai pada satu standar, yakni ketakwaan.

Perbedaan jenis kelamin atas keduanya bukan untuk dibandingkan, terlebih merumuskan antara perempuan dengan laki-laki yang dinormalisasikan menggunakan konstruksi sosial yang patriarki. Biarlah dengan ketegasan identitas dari keduanya—laki-laki menjadi laki-laki, dan perempuan menjadi perempuan— adalah hal yang justru menunjukkan keunikan masing-masing sebagai yang khas. Karena, selamanya kedua jenis manusia ini tidak bisa dibandingkan. Bagaimana mungkin perempuan yang mempunyai ovarium dapat dibandingkan dengan yang memiliki buah zakar? Kesadaran adil dan tidak membandingkan ini yang jarang dilirik oleh kebanyakan masyarakat Indonesia pada saat itu, begitulah sekiranya Gus Dur mengangkat bagaimana seharusnya hak manusia—apa pun jenis kelaminnya, harus diperjuangkan jika mengalami diskriminasi.

Meminjam analisa ketersituasian Gadamer, jangan sampai situasi yang dianggap oleh masyarakat Yahudi dan Kristen pada era sebelum Islam menjadi dasar awal cara pandang manusia secara luas. Setidaknya kita harus berangkat dari bagaimana Islam datang setelah itu untuk mendobrak segala sikap dan tindak diskriminatif. 23 tahun Allah mengutus Rasul Muhammad untuk mengubah tatanan dunia yang mengakar pada skema patriarki. Bahkan saat itu, Injil dan Taurat ikut pula diubah untuk melanggengkan praktik patriarki. Sebagaimana kita tahu, agama adalah jalan pintas yang dapat memengaruhi logika dan wacana masyarakat.

Dalam bukunya, Muhammad ‘Ilwan menerangkan, ada salah satu pendeta gereja yang sedang berkhotbah menyatakan bahwa setiap perempuan di dunia ini merupakan titisan Hawa. Hawa adalah dalang masalah yang menyebabkan Adam diturunkan ke dunia. Jadi, perempuanlah yang harusnya bertanggung jawab atas dosa-dosa manusia, karena perempuan yang menjadi penghubung atas hasutan setan kepada Adam. Pendakwahan yang sekali lagi telah menyudutkan perempuan membentuk bagaimana tradisi Kristiani dan Yahudi memandang perempuan. Perempuan tidak punya kendali atas hal apa pun, baik dalam keluarga atau ruang publik. Ada batasan perempuan untuk hanya bekerja di rumah saja karena beberapa hal, misalkan harus mengambil cuti saat melahirkan dan sebagainya.

Titik awal Islamlah yang perlu kita jangkarkan pada logika wacana masyarakat. Sehingga, relasi kuasa yang hanyut sekian abad, lama-lama menipis. Dengan begitu, jangan sampai kita kembali terperosok pada sejarah kelam yang tak berkesudahan dengan membandingkan perempuan dan laki-laki, terlebih mendiskriminasi perempuan dan kaum lemah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait