Keterjebakan Perempuan dalam Mitos Sejarah

Artikel Populer

Kunti Zulva Russdiana Dewi
Kunti Zulva Russdiana Dewi
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Redaktur Ahli Bedug Media | Fatayat Study Club Mesir | Anggota kajian di Sekolah Tinggi Filsafat Girinata | Anggota kajian Salon Budaya PCINU Mesir

Kopiah.coMembaca ihwal perempuan erat kaitannya dengan wacana yang disebut feminisme. Meski mengalami pro dan kontra wacana ini masih saja eksis di kalangan pegiat kajian gender hingga hari ini.

Upaya dalam menjelaskan pentingnya wacana feminisme nyatanya dipersulit oleh kelahirannya sendiri, yakni sebagai anak keturunan Barat. Memang, lahirnya ide feminisme terbukti mengesampingkan yang liyan seperti ras, agama, budaya serta sosial masyarakat.

Dalam hal ini, pada akhirnya perempuan muslim kerap dijadikan objek pembahasan sebagai bukti penindasan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Barat, misalnya dalam pemakaian jilbab.

Namun, oleh sebagian masyarakat feminisme juga dijadikan sebagai sumber aspirasi sebagai tombak bagi mereka yang masih saja terkungkung dalam dimensi penindasan, baik lokal ataupun global. Seperti upaya perempuan di Afghanistan, yang mulai dikuasai oleh Thaliban saat ini dalam mengembalikan hak pendidikan dan ruang publik perempuan.

Melihat fenomena ini, saya sendiri justru masih penasaran bagaimana awal mula stigma perempuan mulai dipandang rendah. Tidakkah Tuhan menciptakan manusia sama-sama sebagai agen(khalifah) di bumi untuk mewujudkan keadilan?

Upaya kesetaraan gender tidak hanya ditandai akan kemunculan feminisme pada abad ke-18 M jauh sebelum itu Islam telah datang untuk memangkas penindasan-penindasan era jahiliyah dengan norma dan nilai sosial Islam. Lantas apa yang menyebabkan tumbuhnya pandangan mengenai perempuan berada dalam dimensi kelas kedua?

Dalam hal ini saya berusaha menggunakan pendekatan Gadamer dalam ‘Sejarah Pengaruh’ yang bergerak pada ruang historisitas manusia–dalam hal ini kesadaran perempuan sebagai makhluk sejarah, dibaca sejak lahirnya Adam. Dibuktikan dengan catatan oleh Muhammad ‘Ilwan Al-Mahamy dalam bukunya Tahriru al-Mar’ah baina Islam wa Gharby.

Posisi Perempuan yang Terjebak Sejarah

Sejarah pengaruh Gadamer, adalah teori hermeneutika yang berlandaskan pada empat aspek kesadaran yang perlu dipahami oleh manusia. Pertama, manusia sadar atas ketersituasian bahwa ia berada dalam konteks tertentu, ia tumbuh dan dilahirkan pada keadaan yang secara tidak langsung telah membentuk dirinya sebagai sosok yang seperti apa.

Kedua, kesadaran akan sebuah tradisi yang bergerak melingkupinya, maka ia telah tumbuh bersama sebuah tradisi. Ketiga, kesadaran zaman, kesadaran seseorang yang hidup pada suatu zaman. Keempat, refleksi diri atas sejarah pengaruh itu sendiri.

Sebagaimana kita tahu dalam sejarah terlemparnya Adam ke dunia dari surga merupakan pemberangkatan awal peradaban manusia. Keterlemparan Adam merupakan siksaan dari ketidakpatuhannya terhadap Tuhan atas larangan memakan buah Khuldi.

Dalam catatan sejarah umat Yahudi, (menukil dari kitab Tahrir Mar’ah baina Islam wa Gharby, dinukil dari Taurat, Yusya’:1. 25) memandang akibat ini bukan tanpa sebab, kejadian ini merupakan tanggung jawab Hawa atas dosa yang dilakukannya yaitu menghasut Adam untuk memakan buah larangan tersebut.

Dari kejadian inilah nalar pikir umat Yahudi terbentuk, menganggap bahwa kesalahan perempuan adalah otak kejadian dilemparkannya manusia ke dunia. Fatalnya, mitos ini menggiring kedudukan perempuan dan dinobatkan sebagai pewaris dosa atas manusia.

Otoritas dan ketersituasian ini menjadikan pola pikir umat Yahudi menjadi acuh terhadap hak-hak perempuan. Seperti dalam rumah tangga, posisinya disamakan dengan bayi dan orang gila yang tidak memiliki akal untuk berpikir kritis dan mempunyai kuasa tertentu.

Hal ini dibuktikan bagaimana umat Yahudi dapat menikahi perempuan sepuasnya, tidak ada batasan dalam ajaran Yahudi untuk menikahi perempuan, juga dapat menceraikannya kapan saja. Dari sini perempuan tidak hanya dijadikian sebagai bahan pemuas hasrat, namun juga sebagai barang transaksional, jika rusak dapat dibuang kapan saja.

Tidak selesai pada cerita ini, mitos lain yang menyebar adalah perempuan sebagai pintu penghubung antara manusia dan setan. Dalam bukunya Muhammad ‘Ilwan menerangkan, ada salah satu pendeta gerja yang sedang berkhutbah menyatakan, setiap perempuan di dunia ini merupakan titisan Hawa, dimana Hawa adalah dalang masalah yang menyebabkan Adam diturunkan ke dunia, jadi perempuanlah yang harusnya bertanggung jawab atas dosa-dosa manusia, karena perempuan yang menjadi penghubung atas hasutan setan kepada Adam.

Pendakwahan yang sekali lagi telah menyudutkan perempuan membentuk bagaimana tradisi Kristiani dan Yahudi memandang perempuan. Perempuan tidak punya kendali atas hal apapun, baik dalam keluarga atau ruang publik. Maka ada batasan perempuan untuk hanya bekerja di rumah saja, karena beberapa hal, misalkan harus mengambil cuti saat melahirkan dan sebagainya.

Selain itu, diceritakan pada kurun kelima masehi, umat kristiani menggelar pertemuan untuk sekadar membahas jenis manusia bernama perempuan. Apakah perempuan memiliki tubuh jasmani saja, atau perempuan juga memiliki jiwa(ruh)? Kemudian jika ia telah dinyatakan memiliki jiwa, apakah jiwa itu sempurna atau tidak?

Masyarakat kristiani menyepakati bahwa perempuan tidak memiliki jiwa yang sempurna, terkecuali hanya satu perempuan yaitu Bunda Maria (dinilai sebagai perempuan yang suci).

Kecaman-kecaman semacam ini membentuk sejarah pengaruh atas pandangan masyarakat terhadap perempuan hingga beberapa kurun, tidak heran jika pada abad ke-18, upaya feminisme atas tindakan mengkerdilkan perempuan mulai dilahirkan.

Dari dua mitos di atas, kesadaran ketersituasian, tradisi serta zaman, memihak pada pengkerdilan atas manusia berjenis perempuan. Tradisi umat Yahudi dan Kristiani yang dibalut oleh ajaran-ajaran dogmatis menciptakan kepercayaan atas perempuan adalah dalang masalah.

Mitos yang sampai saat ini terus melegenda tidak dapat dihapus begitu saja, terlebih mitos ini semakin hari semakin digaungkan oleh pemuka agama. Artinya perempuan –hingga saat ini, sudah kadung terjebak atas legitimasi sejarah yang memandang perempuan memang berada pada kelas kedua.

Afirmasi Teks Al-Quran dan Hadis serta Penafsirannya

Membaca masyarakat Arab era jahiliyah sebelum diturunkannya Al-Quran telah menegaskan, perempuan sedang terseret oleh polemik norma sosial sebagai manusia yang menduduki kelas kedua.

Dahulu, suku Quraisy memandang jika seorang istri melahirkan anak perempuan, dianggapnya sebagai aib. Karenanya, perempuan lagi-lagi sedang diadili sebagai manusia yang tidak cakap, tidak berkompeten, lemah dan tidak pandai atas segala permasalahan hidup.

Sampai pada akhirnya, nabi bersama Al-Quran memberikan penjelasan mengenai kedudukan perempuan sebagai manusia mulia.

Jika di kitab-kitab suci sebelumnya telah menegasikan perempuan, di Al-Quran (sebagai kitab suci yang terakhir dan otentik) menegaskan bahwa yang menjadi dalang atas terlemparnya manusia ke dunia adalah keduanya, yaitu Adam dan Hawa.

Dalam pembacaan umat Yahudi, perempuan adalah sosok yang dilaknat karena telah terhasut oleh setan dan kemudian menghasut Adam. Namun di Al-Quran menegaskan bahwa yang terhasut oleh setan adalah keduanya. Maka keduanya dinilai telah melakukan kemaksiatan. Hal ini ditegaskan pada surat al-Baqarah:36.

Maka jelas, Al-Quran mengafirmasikan bahwa mitos ini tidak hanya dihubungkan pada satu jenis manusia saja, sebagaimana mitos di atas. Yang perlu diperhatikan, bagaimana posisi Adam saat merespon larangan Tuhan, ketika ia dibebankan sebagai penanggungjawab atas larangan memakan buah tersebut.

Kesalahannya bukan diporoskan pada ihwal perempuan yang pertama kali menghasut Adam, namun bagaimana keduanya sebagai manusia jangan sampai terhasut oleh setan.

Persoalannya sampai saat ini, mengapa stigma atas perempuan tidak mudah hilang sekalipun beberapa teks Al-Quran dan Hadis telah mengafirmasi kemuliaan perempuan?

Dalam sejarah pengaruh terhadap pertumbuhan stigma perempuan adalah kelas kedua (sejarah-sejarah dogmatis, tradisi dan otoritas masa lalu pra-Islam) tidak lepas dan hilang begitu saja di benak masyarakat Muslim saat ini.

Sebagaimana kita tahu, Al-Quran dan Hadis adalah sebuah respon Tuhan atas segala permasalahan yang ada saat itu—erat dengan sejarah pra-Islam era jalihiyah. Salah satunya penafsiran mengenai fenomena Isra’ Mi’raj.

Pada cerita mistis itu, Nabi melihat bahwasannya kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan. Kejadian ini memang dibenarkan pada beberapa Hadis seperti yang ada di dalam Sahih Bukhari, mengenai tema mayoritas penghuni neraka adalah perempuan.

Sebagaimana kita tahu, dua teks ini telah ikut bergerak bersama sejarah dari pra-Islam hingga sekarang. Jadi tidak menutup kemungkinan, pemaknaan-pemakanaan mengenai perempuan yang awalnya ingin menghapus rekam jejak atas stigma perempuan kelas kedua lambat laun juga ikut terdistorsi oleh penafsiran yang terbelenggu oleh sejarah masa lalu, serta kepentingan tertentu.

Tanpa sadar, lagi-lagi pola pikir masyarakat –muslim khususnya, kembali menciptakan stigma perempuan menjadi kelas kedua. Hal ini diperparah oleh posisi para penafsir yang kerap dipercaya oleh masyarakat. Ada reka kejadian dan dokumentasi tertulis yang jelas menggambarkan bagaimana perempuan era jahiliyah hingga justifikasi tertulis dalam dua teks tersebut.

Maka jelas, jika pemikiran masyarakat Muslim sendiri juga masih terjebak pada narasi teks yang dianggap misoginis tanpa adanya pembacaan lebih lanjut. Sebagaimana pola dari umat Yahudi dan kristiani, rupanya umat Muslim sendiri juga kuwalahan atas teks Al-Quran dan hadis yang ingin menengahkan persoalan ini.

Namun yang perlu diperhatikan, sekalipun al-Quran dan Hadis telah diperkuat maknanya oleh penafsiran yang pas dan sesuai zaman, sejarah pengaruh: tradisi masyarakat Arab praIslam, dipertegas dengan teks-teks patriarkal pascaIslam, hasil penafsiran atas kepentingan tertentu, dokumentasi cerita mistis Adam dan Hawa, yang pada akhirnya justru meneruskan misi hegemonik atas hierarki gender.

Sebagaimana penyebutan tubuh perempuan adalah sumber godaan laki-laki menunjukkan bagaimana perempuan telah diberlakukan secara tidak adil. Alih-alih menjadi afirmasi terhadap konteks, sayangnya bahasa-bahasa teks di Islam sendiri justru menyudutkan perempuan.

Pada akhirnya, mengapa penting meneliti kajian gender dalam mewujudkan praktik keegaliteran. Pada dasarnya, perempuan sudah kadung terjebak pada sejarah mistis sejak diciptakannya Adam dan Hawa.

Tidak hanya itu, kepentingan-kepentingan penafsir masa klasik turut menghegemoni pemaknaan teks zaman sekarang. Para penafsir saat ini terkadang masih lupa, bahwa hasil tafsir yang melingkupi kondisi saat itu sama sekali berbeda dengan kondisi saat ini, akibatnya banyak sekali masyarakat yang menggunakan teks agama untuk kepentingan tertentu, sebagai tameng penguat dibenarkannya praktik patiarki.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait