R20 dan Upaya Revitalisasi Agama dalam Ruang Publik

Artikel Populer

Indonesia tahun ini mendapatkan kesempatan istimewa menjadi tuan rumah G20, sebuah forum antar bangsa terbesar yang melibatkan lebih kurang dua pertiga populasi dunia, 80% Produk Domestik Bruto (PDB) Dunia, 70% perdagangan dunia, dan hampir setengah kawasan bumi. Isu yang dibahas dalam forum akbar ini berkaitan dengan problem aktual global meliputi tiga isu pokok, yaitu politik, ekonomi, dan perubahan iklim. Apa yang membuat KTT G20 kali ini terlihat istimewa dari  sebelumnya, adalah hadirnya R20 sebagai event pra-puncak KTT G20 pada 15-16 November mendatang.

R20 adalah forum diskusi yang mempertemukan para pemimpin besar agama dari seluruh dunia. Kegiatan ini diinisiasi oleh KH. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU dengan menggandeng Liga Muslim Dunia (LMD) yang diwakili oleh sekjen Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Isa. R20 dilaksanakan pada tanggal 2-3 November dalam rangka menyambut puncak KTT G20. Tujuan dari pagelaran R20 ini ialah menjadikan agama sebagai solusi atas seluruh permasalahan global.

Agama dan Konflik Peradaban

Membincang persoalan agama, satu hal yang pasti kita temukan, bahwa ia tidak bisa lepas dari historisitas. Realita ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Yuval Noah Harari bahwa Tuhan dan berarti juga agama merupakan kesadaran intersubjektif seperti halnya uang dan negara. Tidak memiliki objek real dalam dunia dan tidak tercipta dari imajinasi subjektif masing-masing orang. Akan tetapi, konsep mengenai Tuhan juga agama selalu identik dengan kesadaran kolektif antar umat manusia yang melewati serangkaian proses sejarah sepanjang peradaban.

Sayangnya, agama seringkali hadir dalam pusaran gelap sejarah umat manusia. Agama yang sejatinya lahir untuk menyelesaikan problem kesejahteraan dan keadilan justru bertransformasi sebagai salah satu penyebab lahirnya konflik kemanusiaan. Pertarungan yang mulanya lahir karena perbedaan rasial, berubah menjadi pertarungan keyakinan dan kepercayaan. Motif pertarungan atas nama agama lebih kokoh karena menyangkut ajaran yang bersifat dogmatis.

Agama dalam perjalanannya justru menciptakan sekat identitas baru. Persoalan keyakinan bukan lagi menyangkut kesadaran yang berada dalam ruang-ruang privat. Keyakinan dalam konteks beragama jauh melampaui hal itu. Nilai-nilai luhur yang dibawakan oleh agama, berangsur-angsur telah tereduksi. Di sisi lain, agama menjadi satu kesatuan identitas sekelompok masyarakat yang memiliki keyakinan sama tentang sebuah konsep ketuhanan. Transformasi agama sebagaimana disebutkan di atas membuka ruang konflik identitas baru, bukan atas nama etnis atau bangsa, melainkan agama.

Manusia sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk individu, menggambarkan bahwa setiap manusia memiliki identitas yang unik dan membedakannya dari yang lain. Upaya mempertahankan identitas, berarti telah berupaya mempertahankan diri, sebuah sikap yang alamiah. Setiap manusia pasti akan mempertahankan identitas yang ia punya sebagai bentuk mempertahankan jati diri—atau katakanlah eksistensi kemanusiaannya.

Sikap naluriah di atas, faktanya telah membuka jalan bagi lahirnya konflik identitas berbasis agama. Sedangkan agama adalah sekat identitas yang paling kuat dan mengakar karena berangkat dari keyakinan. Tak hanya itu, ajaran agama yang memberikan penilaian benar-salah akan suatu keyakinan juga menjadi benih-benih lahirnya paham ekstremisme dan radikalisme. “Aku dan agamaku yang benar, sedangkan yang liyan salah,” adalah ungkapan yang menggambarkan keyakinan setiap orang beragama.

Hingga detik ini, pertarungan identitas yang melibatkan agama tak pernah usai. Konflik antar agama terus terjadi berulang kali, memakan korban jiwa dan menciptakan trauma yang mendalam. Perang Salib melahirkan dendam pahit berkepanjangan di dada orang-orang Kristen maupun Islam. Sedangkan seisi dunia dihantui ketakutan oleh orang-orang berjubah dan bersorban yang sampai sekarang masih menyisakan debu hitam di kelopak mata anak-anak tak berdosa yang masih mengeja 29 huruf hijaiyah. Bahkan agama tidak hanya membunuh orang, namun juga membunuh peradaban dan ilmu pengetahuan dalam sejarah kegelapan Eropa.

Sejarah kelam di atas mewariskan ketakutan bagi sebagian besar penduduk dunia. Gelombang kebencian dan penolakan terhadap agama di era modern ramai digelorakan. Dalam politik, sekularisasi dianggap sebagai solusi termutakhir menangani konflik identitas berbasis agama, mengembalikan agama ke ruang privat bagi pemeluknya dan menguncinya rapat-rapat dari kehidupan sosial dan bernegara. Di negara-negara sekuler, simbol dan upaya syiar agama bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum.  Sedangkan masyarakatnya ramai melakukan penghinaan dan menampakkan sikap anti terhadap agama. Dan orang-orang Islamofobik Eropa Timur menanamkan pemahaman kepada anak-anak mereka bahwa Islam adalah teroris.

Fakta ini menjadi tantangan terbesar umat beragama ke depan. R20 yang membawakan tema “Menghadirkan dan Merawat Agama Sebagai Solusi atas Permasalahan Global” tidak akan pernah mewujudkan cita-citanya, andai saja agama masih dianggap sebagai sumber permasalahan peradaban. Historisitas kelam agama tak bisa dinafikan dan hal itu sudah mengakar.

R20 dan Tantangan Masa Depan

R20 menghadapi dua tantangan besar dalam mewujudukan cita-cita peradabannya. Pertama, sekularis ekstrem yang sangat anti terhadap agama. Agama dianggap tidak mampu berkontribusi menyelesaikan permasalahan kemanusiaan dan peradaban. Alih-alih meredakan konflik, agama justru menjadi sumber permasalahan dalam rentetan sejarah. Historisitas tersebut akhirnya menenggelamkan agama jauh ke dalam jurang sosial.

Menjadikan agama sebagai solusi global berarti mengembalikan agama ke dalam ruang publik. Hal ini bertentangan dengan spirit orang-orang sekularis ekstrem yang justru berusaha menutup rapat-rapat kemungkinan agama dalam ruang politik dan sosial. Sebab pada kenyataan sejarah, citra agama dalam ruang publik memberikan ruang keputusasaan masyarakat global. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut perlu adanya upaya rekonstruksi pandangan publik terhadap agama. Maka, langkah awal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mengembalikan citra agama dalam ruang publik yang membawakan nilai-nilai luhur.

Nilai-nilai luhur yang dibawa oleh setiap agam berupa koeksistensi damai dalam hidup bermasyarakat. Hal demikian, sebetulnya sejak awal telah dicontohkan oleh pembawa risalah Nabi Muhammad SAW. Namun sayangnya, para pemeluk agama setelahnya—tanpa sengaja dan/atau disengaja—mereduksi bahkan merusak nilai-nilai tersebut. Ekstremisme menjadi tantangan terbesar kedua dalam upaya mewujudkan cita-cita peradaban berasaskan nilai koeksistensi damai yang dibawa oleh agama. Di samping pertarungan antar agama yang menyisakan kepedihan, para pemeluk agama sendiri masih belum mampu menyelesaikan konflik intra-agamanya sendiri. Pertarungan antar sekte dan mazhab masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan.

Memang, hakikatnya menciptakan peradaban bukan suatu hal yang mudah. Pengajaran agama yang bersifat dogmatis harus dimaknai secara lebih bijak. Keyakinan akan kebenaran suatu keyakinan yang bersifat dogmatis perlu dihayati kembali. Keyakinan bahwa satu agama yang paling benar adalah hal yang wajar bahkan harus dimiliki oleh setiap pemeluk agama. Namun, keyakinan tersebut  sejatinya tidak menafikan adanya kemungkinan kebenaran yang lain sebagai upaya membangun koeksistensi damai antar manusia, bukan hanya antar umat beragama. Pengajaran yang dogmatis tidak bisa dihadirkan dalam dialog pembangunan peradaban. Akan tetapi, nilai-nilai universal agama tentang cinta kasih dan damai harus dan perlu untuk digaungkan, bahkan menjadi modal utama untuk menciptakan solusi global.

Spirit kemajuan yang dibawakan oleh agama hakikatnya ialah semangat membangun peradaban. Peradaban bukan semata-mata kemajuan dalam bidang materi. Peradaban yang dibangun Nabi Muhammad SAW ialah apa yang dikenal dengan “min al-badawi ila al-hadari”, bahkan melampaui itu. Apa yang pertama kali dilakukan ialah mempersaudarakan Muhajirin dengan Ansor, Aus dan Khazraj, dan kaum muslimin dengan orang-orang ahli kitab di Madinah. Koeksistensi merupakan investasi dalam membangun peradaban, terlebih dalam kegagalan global menangani krisis kemanusiaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Cerita dari Palestina : Berbaik Sangka kepada Imigrasi Paling Ketat, Allenby Border

Kopiah.Co — Berbaik sangka dalam menjalani apapun ternyata dapat menjadi perjalanan hidup kita menjadi ringan, termasuk saat singgah ke...

Artikel Terkait