Menyemai Kembali Arti Modernitas

Artikel Populer

Berakhirnya pergulatan kaum cendekiawan Barat melawan otoritas gereja dan eklektisme abad pertengahan menandakan dimulainya babak baru sejarah manusia. Babak baru tersebut melahirkan ragam revolusi dalam tiap aspek kehidupan. Pemberontakan terhadap tradisi dan otoritas keagamaan menjadi anak tangga pertama disusul dengan revolusi ilmiah hingga industrialisasi sebagai puncaknya. Belakangan, para sejarawan dan filsuf mengistilahkan periode yang belum berkesudahan hingga sekarang ini sebagai modernitas.

Dalam studi ilmu sosial dan humaniora, modernitas merupakan sebuah periode dalam sejarah peradaban manusia yang memiliki dua ciri utama. Pertama, meningkatnya nalar kritis dan lahirnya kesadaran akan hakikat manusia sebagai pelaku sejarah yang dinamis. Manusia beserta keadaan yang melingkupinya tak lain merupakan objek yang menyejarah. Namun di sisi lain, manusia memainkan peran gandanya sebagai pelaku sejarah yang secara sadar mampu memanipulasi lingkungan yang melingkupinya. Oleh sebab itu, periode modern juga dalam fenomenanya kental akan sebuah ikhtiar manusia meninggalkan tradisi yang dianggap membatasi sifat alamiah manusia sebagai pelaku sejarah yang dinamis.

Usaha meninggalkan tradisi sebagai sebuah fakta sejarah yang telah mati, menandakan lahirnya gerak baru sejarah manusia. Gerak baru tersebut merupakan sebuah upaya aktualisasi karakter alamiah manusia sebagai entitas yang dinamis. Bagi Baudelaire yang mengingkari keterlapasan manusia dengan waktu, modernitas adalah nama lain bagi segala upaya membuka diri terhadap segala kemungkinan yang ada di masa depan dan kesadaran akan fakta-fakta unik di masa sekarang. Kedua hal ini yang kemudian secara integral menjadi ciri utama modernitas yang kedua, yakni perubahan. Perubahan yang dikehendaki modernitas ini bersifat menyeluruh. Hal ini berarti bahwa perubahan meliputi seluruh aspek seluruh kehidupan manusia.

Dengan berpegang pada dua ciri utama mengenai modernitas di atas, secara sederhana, maka manusia di era sekarang telah menapaki periode baru sejarah sebagai manusia modern. Terlebih jika definisi modern diartikan secara materialis, maka manusia di berbagai belahan dunia sedang menuju puncak modernitas. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan praksis menjadi tolok ukur modernitas yang definisinya terbatas pada makna yang terkandung dalam nalar orang-orang Barat. Negara maju yang menguasai teknologi dan pasar internasional dianggap berada pada puncak modernitas. Hal ini berimplikasi pada biasnya makna modernitas. Modernitas yang semula bermakna non-materi, berupa nalar kritis dan upaya perubahan, menjadi kemajuan teknologi dan ekonomi semata.

Dengan biasnya makna modern ini, sebagian bangsa yang tertinggal dalam mengikuti perkembangan teknologi dan industri merasa kehilangan jati dirinya. Bangsa yang tidak mampu menguasai percaturan politik dan sistem peraturan pasar dunia menjadi bangsa yang kalah dan tertinggal. Umat Islamlah, satu di antara bangsa yang kalah dan tertinggal. Apalagi konflik agama dan suku bangsa yang tak berkesudahan di Timur Tengah sebagai basis masa umat Islam menjadi fakta kelam tersendiri yang oleh sebagian kalangan dianggap lahir sebagai ketidakmampuan orang-orang Islam berpaling dari agama mereka sebagai satu sumber masalah.

Datangnya kritik yang tajam dari para peneliti Barat atas fenomema keberagamaan Islam yang stagnan membangkitkan semangat kaum cendekiawan muslim untuk mendefinisikan kembali makna keberagamaan mereka. Kesadaran akan ketertinggalan juga menyadarkan orang-orang muslim untuk tidak pernah lari dari realita. Muncul kemudian usaha-usaha untuk membumikan makna-makna yang terkandung dalam ajaran Islam. Membumikan ini merupakan upaya rekonstruksi nilai-nilai ajaran Islam dalam rangka menjawab persoalan ketertinggalan dan menyongsong modernitas. Hal ini berarti bahwa Islam adalah seperangkat nilai yang lentur yang selalu dikelilingi oleh realita.

Pemaknaan nilai Islam sebatas pada realita dan bersifat materialistik ini, di lain sisi mengaburkan esensi dari makna beragama itu sendiri. Memang, usaha membumikan di atas dalam rangka menyelesaikan permasalahan ketertinggalan. Namun sayangnya, upaya ini berangkat dari pemaknaan yang bias terhadap modernitas. Modernitas materialistik yang dijadikan sebagai pijakan berangkat menghilangkan sisi agama lain yang non-materi, ruhani, dan intuitif. Pada akhirnya, umat Islam hanya membebek pada Barat dalam menyongsong modernitas.

Realita ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para cendekiawan muslim yang sadar akan kealpaan umat muslim terhadap jati dirinya. Taha Abdurrahman berusaha memperbaiki keadaan miris di atas dengan menyadarkan umat muslim untuk kembali pada jati dirinya dalam menyongsong modernitas. Upaya yang dilakukan Taha ialah dengan merevitalisasi makna modernitas. Modernitas yang dikehendaki di sini ialah modernitas yang sesuai dengan esensi aslinya, yakni modernitas yang menuntut nalar kritis dan perubahan, bukan perubahan yang membebek pada Barat.

Untuk mengembalikan makna modernitas, maka upaya yang perlu dilakukan ialah mengetahui dan membedakan kedua sisi yang melekat pada modernitas. Pertama, spirit modernitas dan kedua, realita modernitas. Realita modernitas menjadi bentuk praktis pengaplikasian spirit modernitas. Sedangkan spirit modernitas merupakan seperangkat nilai moral dan mentalitas yang melekat pada manusia sebagai makhluk yang dinamis.

Dalam pandangan Taha, spirit modernitas memiliki 3 prinsip. Dalam tulisan kali ini, penulis hanya akan menyampaikan satu saja sebagai modal utama memahami makan modernitas dalam kerangka pemikiran Taha. Prinsip itu ialah prinsip al-Rusyd (kesadaran). Kesadaran merupakan modal mendasar manusia dalam menciptakan perubahan yang dinamis. Dalam kerangka modernitas, al-Rusyd menghendaki kebebasan dan kreativitas manusia. Kebebasan dan kreativitas ini menjadi tiang kesuksesan manusia mengaktualisasikan kesadarannya. Dalam upaya melahirkan modernitas yang tepat, kesadaran pada hakikatnya harus melahirkan kebebasan yang inovatif. Hal ini berarti kebebasan yang diperjuangkan dalam menuju modernitas tidak boleh meniru kebebasan yang dibawakan oleh orang-orang Barat.

Hakikat kebebasan ialah melahirkan paradigma baru, bukan transmisi paham kebebasan yang diyakini oleh liyan. Dalam hal ini, liberalisme misalnya merupakan perwajahan spirit modernitas orang-orang Barat. Di belahan Barat lain, komunisme menjadi perwajahan modernitas alternatif. Dari sana dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya modernitas dalam setiap umat berbeda-beda.

Alternatif yang kemudian bisa ditawarkan ialah bahwa umat Islam harus bisa merumuskan kembali definisi modernitas. Dengan kenyataan bahwasanya modernitas itu beragam maka umat Islam harus merumuskan spirit modernitas yang sesuai dengan nilai ajaran Islam. Modernitas tidak berarti lari dari prinsip ketuhanan. Justru modernitas umat Islam adalah dengan menjadikan prinsip ketuhanan sebagai solusi atas kekacauan zaman. Maka, mau tidak mau umat Islam tidak hanya mentransimisi realita modernitas Barat, akan tetapi dengan prinsip kebebasannya, umat Islam harus terus berupaya melakukan perubahan dengan memperbaharui khazanah intelektualnya, yang dalam pandangan Taha dimulai dari tajdid ilmu kalam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait